Oleh :
Timotius Moris Tiwow
Muhammad Farhan Umar
Aloisio G. Vito Manusu
(Penulis Manado Legal Studies Community)
A. PENDAHULUAN
1. Latar belakang
Keadilan restoratif atau Restorative Justice adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan. Praktek penegakan hukum pidana sering kali mendengar istilah.
Retsorative Justice yang dalam terjemahan bahasa Indonesia disebut dengan keadilan restorative. Keadilan restorative atau restorative justice mengandung pengertian yaitu; “suatu pemulihan hubungan dan penebusan kesalahan yang ingin dilakukan oleh pelaku tindak pidana (keluarganya) terhadap korban tindak pidana tersebut (keluarganya) (upaya perdamaian) di luar pengadilan dengan maksud dan tujuan agar permasalahan hukum yang timbul akibat terjadinya perbuatan pidana tersebut dapat diselesaikan dengan baik dengan tercapainya persetujuan dan kesepakatan diantara para pihak. [1]
Mengacu pada hukum positif sekarang banyak tindak pidana umum serta beberapa tindak pidana ringan lainnya menggunakan restorative justice sebagai pemenuhan hak serta pemulihan kepada tersangka maupun korban. Lalu mengapa RJ tidak mementingkan pembalasan kepada pelaku tindak pidana? sebenarnya restorative justice adalah disiplin ilmu yang belum lama berdiri yakni pada tahun 1977 yang diperkenalkan oleh Albert Eglash yang kemudian dibentuk karena kritikan terhadap hukum pidana mengingat dahulunya hukum pidana lebih mengedepankan pada pembalasan dan bukan memerhatikan pemenuhan hak korban.
Sehingganya hasil dari restorative justice melahirkan keadilan yang mana mencegah terjadinya perpecahan sebagaimana terdapat pula pada ideologi negara kita yakni pancasila sila ke-5 keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh sebab itu restorative justice sangat penting mengingat karena sebagai suatu produk atau suatu metode penyelesaian perkara diluar pengadilan serta tidak mengemukakan pembalasan dan menghasilkan keadilan secara menyeluruh.
Beberapa pendapat ahli mengenai restorative justice antara lain: Menurut Tony Marshall, restorative justice adalah proses yang melibatkan semua pihak yang memiliki kepentingan dalam masalah pelanggaran tertentu untuk datang bersama-sama menyelesaikan secara kolektif bagaimana menyikapi dan menyelesaikan akibat dari pelanggaran dan implikasinya untuk masa depan[2]. 2. Marian Liebmann secara sederhana mengartikan restorative justice sebagai suatu sistem hukum yang “bertujuan untuk mengembalikan kesejahteraan korban, pelaku dan masyarakat yang rusak oleh kejahatan, dan untuk mencegah pelanggaran atau tindakan kejahatan lebih lanjut. [3]
Restorative justice merupakan filsafat, proses, ide, teori, dan intervensi, yang menekankan dalam memperbaiki kerugian yang disebabkan atau diungkapkan oleh pelaku kriminal. Proses ini sangat kontras dengan cara standar menangani kejahatan yang dipandang sebagai pelanggaran yang dilakukan terhadap negara. Restorative justice menemukan pijakan dalam filosofi dasar dari sila keempat Pancasila, yaitu musyawarah sebagai prioritas dalam mengambil keputusan[4]. Adapun tindak pidana menurut kaca mata keadilan Restoratif, adalah suatu pelanggaran terhadap manusia dan relasi antar manusia. Keadilan restoratif, dapat dilaksanakan melalui Mediasi korban dengan pelanggar, Musyawarah kelompok keluarga dan Pelayanan di masyarakat yang bersifat pemulihan baik bagi korban maupun pelaku.[5]
Yang menjadi pertanyaan penulis yaitu apa sebenarnya pertimbangan kejaksaan menggalakkan bahwa restorative justice bisa digunakan dalam tindak pidana korupsi? Seperti yang diketahui sebelummya bahwa restorative justice diterapkan pada tindak pidana umum / tindak pidana ringan, seperti tindak pidana anak. Sedangkan tindak pidana korupsi sendiri adalah tindak pidana khusus yang artinya tindak pidana tersebut dalam pengaturannya berada di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana umum. Pengaturannya sendiri sudah jelas tercantum pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pokok permasalahan terkait polemik penetapan restorative justice pada pelaku tipikor ketika Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengatakan “paradigma penegakan hukum telah mengalami pergeseran dari keadilan retributif berupa pembalasan menjadi keadilan restorative”.[6]
Dari pandangan penulis sendiri berpendapat bahwa pemberian restorative justice ini dapat mencederai hukum tentang tindak pidana korupsi yang telah ada, dikarenakan dalam UU tersebut telah diatur secara jelas bahwa uang sebesar apapun yang diambil oleh tersangka yang dimana dimaksud uang tersebut adalah milik negara adalah jelas tindakan korupsi yang tidak dapat dibenarkan. Oleh karena itu penulis berpendapat bahwa restorative justice terhadap pelaku Tipikor dibawah 50 juta tidak dapat diterima diikarenakan sudah sangat jelas bahwa hal tersebut merupakan tindak korupsi.
2. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan beberapa masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep Restorative Justice menurut Perja No. 15 Tahun 2020?
2. Bagaimana legalitas terkait penerapan Restorative Justice bagi pelaku TIPIKOR dibawah 50 juta?
3. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan adalah penelitian yuridis normative yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti tulisan pustaka atau data sekunder belaka yang berhubungan dengan judul tilisan ini. Penelitian hukum yuridis normatif adalah penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek yaitu aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan Pasal demi Pasal, formalitas dan mengikatnya suatu undang-undang serta bahasa hukum yang digunakan.[7] Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).[8] Dalam penelitian ini seluruh pendekatan tersebut akan digunakan sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Dengan demikian terbuka kemungkinan untuk menggunakan seluruh atau sebagian pendekatan tersebut sesuai dengan kebutuhan. Data untuk penelitian ini dikumpulkan melalui penelitian kepustakaan (library reasearch). Bahan kepustakaan akan meliputi bahan hukum primer berupa berbagai Peraturan Perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi & keadilan restoratif di Indonesia. Bahan hukum sekunder berupa bahan yang memberikan kejelasan terhadap bahan hukum primer berupa hasil penelitian, makalah, artikel, surat kabar, dan lain–lain. Sedangkan bahan hukum tersier, yaitu sumber yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder seperti kamus dan ensiklopedia.
B. PEMBAHASAN
1) Konsep Restorative Justice menurut Perja No. 15 Tahun
Penerapan restorative justice diperlukan guna kepentingan hukum namun tanpa adanya syarat-syarat tidak dibenarkan penerapan nya maka dari itu berikut ini adalah syarat penerapan RJ mengacu pada pasal 5 Perja No. 15 Tahun 2020
(1) Perkara tindak pidana dapat ditutup demi hukum dan dihentikan penuntutannya berdasarkan Keadilan Restoratif dalam hal terpenuhi syarat sebagai berikut:
a. tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana;
b. tindak pidana hanya diancam dengan pidana denda atau diancam dengan pidana penjara tidak lebih dari 5 (lima) tahun; dan
c. tindak pidana dilakukan dengan nilai barang bukti Atau nilai kerugian yang ditimbulkan akibat dari tindak pidana tidak lebih dari Rp2.500.000,OO (dua Juta lima ratus ribu rupiah).
Berdasarkan pasal 5 ayat 1 diatas jika ke tiga unsur terpenuhi seperti tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, dan pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun serta nilai barang bukti tindak pidana tidak lebih dari dua juta lima ratus ribu rupiah maka perkara dapat ditutup berdasarkan keadilan restoratif. Selain memenuhi 3 unsur diatas penghentian penuntutan juga akan berjalan bila memenuhi 3 poin mengacu pada Pasal 5 no 6. Penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dilakukan dengan memenuhi syarat:
d. telah ada pemulihan kembali pada keadaan semula yang dilakukan oleh Tersangka dengan cara:
1. mengembalikan barang yang diperoleh dari Tindak pidana kepada Korban;
2. Mengganti kerugian korban
3. Mengganti biaya yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana; dan/atau
4. Memperbaiki kerusakan yang ditimbulkan dari akibat tindak pidana;
e. telah ada kesepakatan perdamaian antara Korban dan Tersangka; dan
f. masyarakat merespon positif.
Namun, tak hanya sampai disitu saja penghentian penuntutan dapat dikecualikan bila konteks perkaranya seperti tindak pidana terhadap keamanan negara, tindak pidana narkotika, untuk lebih jelasnya sudah disebutkan seperti perkara lainnya di pasal 5 ayat 8 sebagai berikut;
Pasal 5 ayat 8
Penghentian penuntutan berdasarkan Keadilan Restoratif dikecualikan untuk perkara:
g. tindak pidana terhadap keamanan negara, martabat Presiden dan Wakil Presiden, negara sahabat, kepala negara sahabat serta wakilnya, ketertiban umum, dan kesusilaan;
h. tindak pidana yang diancam dengan ancaman pidana minimal;
i. tindak pidana narkotika
j. tindak pidana lingkungan hidup; dan
k. tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.
Berdasarkan uraian diatas penulis hanya memaparkan beberapa poin pentingnya saja seperti pada pasal 5 ayat 1 disebut kalau perkara tindak pidana dapat ditutup dan dihentikan lalu penghentian penuntutan juga akan tercapai bila mana memenuhi beberapa unsur pada pasal 5 ayat 6 namun, penghentian penuntutan juga dapat dikecualikan apabila memenuhi unsur–unsur yang ada pada pasal 5 ayat 8.[9]
2) Legalitas terkait penerapan Restorative Justice bagi pelaku TIPIKOR dibawah 50 juta?
1) Dalam pernyataannya Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin mengatakan paradigma penegakan hukum telah mengalami pergeseran dari keadilan retributif berupa pembalasan menjadi keadilan restoratif. Keadilan restoratif memberi keseimbangan dalam proses peradilan pidana. Karenanya, keadilan bakal muncul saat perdamaian dan harmoni di masyarakat serta pelaku kejahatan dapat diterima masyarakat. Menurutnya, konsep keadilan restoratif bakal menyentuh seluruh lapisan masyarakat. Masyarakat berhak mendapatkan keadilan tanpa memandang golongan dengan tetap memperhatikan berat dan ringannya perkara. Memang, Perja No. 15 Tahun 2020 masih sebatas jenis perkara yang melibatkan masyarakat kecil, tapi sejatinya tujuan yang hendak dicapai menghadirkan kemanfaatan hukum.
“Ke depan cukup melihat berat ringan perkaranya, tak hanya jenis perkaranya, tapi juga melihat nominal kerugian keuangan negara yang kecil,” ujar Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin [10]
Menurut data dari Polri sendiri pada tahun 2021 Polri telah menyelesaikan 11.811 perkara melalui restorative justice. Kapolri Jendral Polisi Listyo Sigit Prabowo menuturkan sepanjang 2021 telah dilaksanakan penyelesaian perkara dengan pendekatan restorative Justice sebanyak 11.811 perkara di antaranya 11.755 perkara di Polda dan 56 perkara di Bareskrim. Dengan kata lain mengalami peningkatan dari tahun 2020 sebesar 28,3% atau 9.199 perkara. Sedangkan target restorative justice yang ditetapkan pada tahun 2022 sejumlah 22.543 yaitu 10% dari jumlah CT pada tahun 2021 sejumlah 222.543. [11]
Merujuk pada data tersebut penerapan restorative justice di Indonesia dalam hal penyelesaian masalah tindak pidana umum, mendapat respon yang sangat baik dari masyarakat luas, ini dikarenakan dari data tersebut adanya peningkatan dari tahun ke tahun terkait penerapan restorative justice. Masyarakat luas banyak yang menginginnkan proses penyelesaian masalah tidak harus diputuskan di pengadilan dan diselesaikan secara kekeluargaan. Melihat dari konteks pemberlakuan restorative justice yang telah dibahas diatas bahwa sudah jelas restorative justice hanya untuk tindak pidana umum saja, dan bukan untuk tindak pidana korupsi. Yang sebagaimana diketahui bahwa tindak pidana korupsi itu adalah tindak pidana khusus yang pengaturannya diatur secara khusus atau terletak diluar undang-undang tindak pidana umum, dengan demikian maka penghentian penuntutan berdasarkan restorative justice tidak bisa dilakukan.
2) Yang menjadi pertanyaan penulis saat ini apakah kemudian dibenarkan bahwa sanksi tipikor bisa diterapkan RJ? Menurut penulis sendiri kasus tipikor merupakan tindak pidana khusus yang mana konsekuensi dari tindak pidana korupsi adalah pidana penjara dan juga denda serta tidak dibenarkan jika RJ merupakan sanksi dari tipikor. Disisi lain penulis akan sedikit menjelaskan bukti bahwasanya tipikor memang tidak menggunakan RJ sebagai sanksi. Menurut hukum pidana di Indonesia, pengertian korupsi adalah perbuatan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri atau orang lain, baik perorangan maupun korporasi, yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian negara.[12]
Mengacu pada Undang-undang no 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang no 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi. Dalam Pasal 2 “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”. Dan dalam Pasal 3 “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara”.
Untuk pasal 2 ayat 1 berbunyi sebagai berikut;
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”.
Sedangkan pada pasal 3 berbunyi sebagai berikut, “Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah)”
Dari kedua pasal diatas yakni pasal 2 serta pasal 3 sanksi yang diberikan berupa sanksi pidana penjara dan sanksi denda contohnya pada pasal 2 ayat 1 dijelaskan bahwasannya ketika seseorang melakukan tindakan memperkaya diri atau orang lain yang dapat merugikan negara dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun selain itu juga terdapat denda yakni paling sedikit 200 juta dan paling banyak satu miliyar.
Sedangkan pada pasal 3 jika seseorang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, menyalahkan gunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan maka dipidana penjara seumur hidup atau paling singkat yakni 1 tahun dan paling lama 20 tahun serta denda paling sedikit 50 juta dan paling banyak 1 miliyar.[13]
Sehingganya sudah sangat jelas bahwa penerapan hukuman/sanksi penjara serta denda sering kali dilakukan pada kasus tindak pidana korupsi di Indonesia. Dalam Menyikapi segala dinamika perkembangan kasus tipikor aturan diatas sangat tepat dan juga relevan maka dari itu apabila RJ dipakai sebagai konsekuensi dari tipikor dapat dibilang tidak tepat karena berdasarkan pasal 2 ayat 1 dan pasal 3 tidak ditemukan RJ sebagai konsekuensi dari Tipikor melainkan pidana penjara dan pidana denda.
Selain itu juga kemungkinan besar terdapat indikasi money laundry pada tipikor dibawah 50 juta yang mana pada saat sanksi denda telah dibayar bisa saja pada saat sebelum dibayar uang dari hasil korupsi itu (50 juta) telah digunakan untuk kepentingan seperti membangun usaha, membuat rumah ataupun mencari keuntungan dibalik hasil dari korupsi maka pada saat membayar denda/ganti rugi si pelaku menggunakan uang dari hasil tipikor. Mengacu pada undang-undang no 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang pada pasal 2 huruf a, disebut bahwa “hasil dari tindak pidana adalah harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana korupsi”[14] sehingga, kasus tipikor ini sangat memicu dugaan money laundry yang berimplikasi pada ketidakrelevannya RJ sebagai proses penyelesaian diluar pengadilan.
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Kesimpulan dari kami Tim penulis berdasarkan pendahuluan serta rumusan masalah diatas sudah terpaparkan jelas bahwa Kejaksaan tidak mengindahkan Perja yang telah dibuat, karena sanksi dari pada tipikor berbeda dengan RJ. Yang mana pada sanksi tipikor berupa pidana penjara serta pidana denda, lain halnya dengan RJ yang lebih menitik beratkan pada pemulihan dan pemenuhan hak dan tidak ada pembalasan yang artinya ada penghentian penuntutan oleh pengadilan. Hal ini tentunya sangat bertentangan dengan hukum positif yang berlaku di indonesia, sehingga apabila RJ diterapkan pada tipikor maka dapat dikatakan tidak relevan. Maka dari itu kami mengatakan kejaksaan tidak mengindahkan Perja yang telah dibuat terhadap tipikus dalam hal ini tipikor karena terdapat tidak relevannya penerapan RJ dan ketidakadilan yang berimplikasi serta tercorengnya nilai dari pancasila sebagai ideologi negera spesifik nya pada sila ke 5 yang berbunyi keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
2. SARAN
1). Seharusnya ada perluasan makna dari Restorative Juastice itu sendiri mengenai langkah preventif tipikor bagi instansi pemerintah yang pernah terlibat kasus korupsi, sehingganya dengan adanya perluasan makna tersebut penerapan restorative justice tidak akan melenceng serta esensi dari restorative justice tetap bertahan.
2). Pemerintah dalam hal ini Kejaksaan Agung harus mensosialisasikan atau memberi edukasi terkait makna yang sebenarnya dari Restorative Justice agar supaya tidak disalah artikan makna yang seharusnya dari Restorative Justice itu sendiri yang tujuan sebenarnya hanya untuk tindak pidana umum saja, bukan untuk tindak pidana khusus. Sehingganya pada saat implementasi restorative justice dilakukan tidak terdapat multitafsir yang berimplikasi pada melencengnya esensi restorative justice.
3. DAFTAR PUSTAKA
JURNAL
Hanafi Arief, Ningrum Ambarsari, “Penerapan Prinsip Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia”, Jurnal Hukum, Volume. X Nomor 2, Juli 2018
Kuat Puji Prayitno, “Restorative Justive untuk Peradilan di Indonesia (Perspektif Yuridis Filosofis dalam Penegakan Hukum In Concreto”, Jurnal Dinamika Hukum, Volume. 12 Nomor 3, september 2012
BUKU
Braithwaite John, 2002, “Restorative Justice and Responsive Regulation”. Oxford: Oxford University Press.
Liebmann Marian, 2007, “ Restorative Justice: How It Works”. London: Jessica Kingsley Publisher.
Apong Herlina et.al., 2004, Perlindungan Terhadap Anak yang Berhadapan dengan Hukum, Jakarta.
UNDANG UNDANG
Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, Pasal 2 dan pasal 3 tentang Perubahan atas Undang-Umdang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang No 8 Tahun 2010 pasal 2 huruf a, tentang pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang
PERJA No. 15 Tahun 2020, Pasal 5 ayat 1, 6, dan 8 Tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif
INTERNET/MEDIA
https://www.hukumonline.com/berita/a/penerapan-restorative-justice-menyasar-perkara-korupsi-ringan-lt62272ced24203/ (diakses pada tanggal 10 Maret 2022)
https://amp.kontan.co.id/news/sepanjang-2021-polri-menyelesaikan-11811-perkara-melalui-restorative-justice (diakses pada 10 Maret 2022)
https://hot.liputan6.com/read/4730252/pengertian-korupsi-menurut-para-ahli-penyebab-dan-dampaknya (diakses pada 10 Maret 2022)
(Redaksi : Gama)