oleh: Alfian Ratu
DALAM praktek peradilan di Mahkamah Konstitusi, mengenal apa yang dinamakan Keadilan Prosedur (Procedur Justice) dan Keadilan Substantif (Substantive Justice).
Apa itu Keadilan Prosedur ? Keadilan Prosedur adalah hal-hal yang berhubungan dengan syarat formil suatu Permohonan sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan perundangan.
Apa itu Keadilan Substantif ? Keadilan Substantif adalah hal-hal yang secara material dapat memengaruhi hasil dalam Pilkada, yang dapat di kualifikasi sebagai suatu Pelanggaran yang bersifat Kualitatif, contohnya Pelanggaran TSM (Terstruktur, Sistematis, Masif).
Dalam Proses pengajuan di MK, seringkali bahkan menjadi suatu “senjata” bagi Pemohon untuk menyerang Pihak Termohon dan Pihak Terkait dengan Pelanggaran Kualitatif, seperti TSM. Dan meminta MK untuk menilai pelanggaran tersebut sebagai suatu hal yang dapat memengaruhi hasil pilkada yang sudah ditetapkan oleh KPU tentang Rekapitulasi Hasil Perhitungan Suara. Dalam Petitumnya akan meminta MK untuk menyatakan Perhitungan Ulang bahkan sampai Pemilihan diulang lagi.
Pelanggaran yang bersifat Kualitatif seperti diatas tadi, sah-sah saja diajukan sebagai suatu kondisi Substantif yang dinilai oleh MK, karena MK juga harus menggali kebenaran yang seadil-adilnya. Karena prinsip hukum Nemo Comondum Capere Potest Injuria Sua Propria (tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan orang lain). Itulah yang dikenal dengan Hukum Progresifnya Mahkamah Konstitusi.
Tetapi juga harus diingat, Prinsip Kebenaran Materiil mengatasi Kebenaran Formil, tidak seperti itu hakekatnya.
Kebenaran Formil harus sesuai, selaras, searah dengan Kebenaran Materiil. Karena Tujuan Peradilan adalah untuk menemukan Kebenaran Materiil sebagai dasar menegakkan Keadilan Substantif.
Berpedoman dalam hakekat itu maka aturan-aturan hukum formal, seperti tenggang waktu pengajuan permohonan dan ambang batas pengajuan permohonan menjadi syarat limitatif yang sangat ketat yang harus dilakukan oleh MK karena aturan tersebut tertulis didalam Undang-undang Pilkada. Tenggang waktu 3 x 24 jam setelah Rekapitulasi KPU menjadi terikat. Begitu pula ambang batas pengajuan, yaitu : 2 persen, 1,5 persen, 1 persen dan 0,5 persen.
Oleh karena itu, MK memperkuat dan mempertegas Kebenaran Formil dalam rangka Penegakan Keadilan Prosedural lewat Peraturan Mahkamah Partai yang mengatur tentang Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Gub, Walikota/Bupati.
Bagi MK, aturan hukum formal dan prosedural dibentuk untuk menjamin adanya kebenaran materiil dalam tercapainya Penegakan Keadilan Substanstif.
Oleh karena itu, tidak usah takut bagi KPU jika ada Pasangan Calon yang kalah mengajukan Gugatan ke MK… Apalagi Gugatan itu, bertentangan dengan Keadilan Prosedural, menyangkut Tenggang Waktu dan Ambang Batas. Dapat dipastikan bahwa Gugatan yang menyalahi Keadilan Prosedural adalah Gugatan yang akan dimasukkan dalam Putusan Sela Mahkamah Konstitusi sebagai Gugatan yang tidak diterima (Niet Onvankelijk Verklaard).
(***)