Jakarta, Manadosulutnews – Menteri Perdagangan M Lutfi menjelaskan faktor penyebab naiknya harga kedelai belakangan ini.
Menurut Mendag, faktor-faktor yang menyebabkan lonjakan harga tersebut, yaitu dari sisi suplai, gangguan cuaca, seperti fenomena El Nina di Amerika Latin berdampak pada Brasil dan Argentina sebagai penghasil kedelai.
Kondisi ini diperparah dengan aksi mogok pekerja di Argentina yang menghambat distribusi bahan pokok tahu tempe tersebut.
“Jadi, ini menjadi gangguan tersendiri dari Argentina,” ujarnya dalam konferensi pers secara virtual, Senin (11/1).
Kemudian, lanjut Lutfi, dari sisi permintaan, terjadi lonjakan permintaan di China usai dibuka kembali peternakan babi.
Diketahui, China sempat menutup peternakan babi dan memusnahkan seluruhnya ternaknya pada 2019-2020 lalu karena kemunculan penyakit flu babi.
Selain itu, China mulai mengatur makanan ternak babi mereka guna menghindari kejadian serupa terulang.
“Karena makanan (babi) diatur, yang besar permintaan hampir mengkali-duakan kedelai dari China ke Amerika Serikat (AS) dalam kurun waktu yang singkat. Jadi, dari 15 juta ton biasanya permintaan di sana, (China) naikkan permintaan jadi 28 juta ton. Ini yang menyebabkan harga tinggi,” jelasnya.
Kondisi tersebut, sambung dia, juga membuat harga kedelai di pasar internasional saat ini menyentuh US$13 per rumpun. Angka itu adalah harga tertinggi dalam 6 tahun terakhir.
“Sekarang ini, harga kedelai itu US$13 per rumpunnya dan ini adalah harga tertinggi dalam 6 tahun terakhir,” tuturnya.
Di Indonesia, harga kedelai di gudang importir sebesar Rp8.500 per kilogram (Kg), lalu menjadi Rp8.800-Rp8.900 per kg ketika sampai di tangan perajin tahu tempe. Kenaikan harga kedelai itu otomatis mengerek harga tahu tempe di tangan konsumen.
“Jadi, saya bisa lihat bahwa harga sekarang yang terbentuk Rp15 ribu per kg (tempe). Kami lihat ini ekuilibrium baru ketika di importir harganya Rp8.500 per kg (kedelai),” Pungkasnya.
(Stev/***)