PENULIS :
ZIDAN TAKALAMINGAN, SH
KUTUK KERAS PREDATOR SEKS DI LINGKUNGAN KAMPUS!!!
A. Pendahuluan
Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum. Hal ini membuktikan bahwa proses bernegara di Indonesia harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku dengan kata lain Indonesia menjunjung tinggi supremasi hukum. Pasal ini dimaknai sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari konsepsi rechtstaat dan rule of law.
Dalam pandangan hidup bangsa Indonesia terangkum perumusan sila-sila pancasila yang dijadikan falsafah hidup bernegara berdasarkan UUD NRI Tahun 1945, karena pancasila merupakan sumber hukum dalam arti materil yang tidak saja menjiwai, tetapi bahkan harus dilaksanakan dan tercemin oleh dan dalam peraturan hukum Indonesia yang harus berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, berkemanusiaan yang adil dan beradab, merupakan faktor pemersatu bangsa, bersifat kerakyatan dan menjamin keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Berbicara mengenai peraturan yang hadir dalam sebuah Negara, terlebih di Negara demokrasi merupakan suatu konsekuensi logis ketika terjadi Pro-Kontra dalam memandang sebuah legal policy. Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, meneken Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual pada 31 Agustus 2021. Peraturan ini, menurut Nadiem, adalah jawaban dari kegelisahan banyak pihak, mulai terutama mahasiswa dan mahasiswi di seluruh Indonesia atas tindakan kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Aturan ini menjadi pegangan bagi korban kekerasan seksual di kampus yang selama ini tidak bisa berpegangan pada hukum lainnya, jelas Nadiem. Selain itu Nadiem juga berpandangan jika ada sejumlah keterbatasan dalam penanganan kasus kekerasan seksual apabila menggunakan KUHP, padahal banyak juga kasus kekerasan berbasis online yang tidak diatur di KUHP. Nadiem juga menjelaskan jika dampak psikologis yang dialami korban kekerasan seksual secara digital juga sama dengan korban kekerasan seksual secara langsung.
B. Kedudukan Peraturan Menteri Dalam Ketatanegaraan Indonesia
Pasal 4 UUD 1945 menegaskan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan, Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Menteri-menteri negara tersebut merupakan pembantu presiden dan membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan. Ketentuan mengenai kementerian negara ditempatkan tersendiri dalam Bab V UUD 1945 perubahan. Menurut Jimly Asshiddiqie alasan mengenai disusunnya ketentuan tentang Kementerian Negara dalam Bab V yang terpisah dari Bab II tentang kekuasaan pemerintahan negara, pada pokoknya disebabkan oleh karena kedudukan menterimenteri negara itu dianggap sangat penting dalam sistem ketatanegaraan menurut UUD 1945 perubahan.
Semenjak tahun 1966 sampai dengan sekarang telah tercatat sebanyak 4 (empat) kali terjadi perubahan terhadap hirarkhi peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pertama; diatur dengan TAP MPRS XX/MPRS/1966. Kedua; diatur dengan TAP MPR Nomor III/ MPR/2000. Ketiga; diatur dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004. Keempat. diatur dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.
Pada Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 yang sekarang berlaku, susunan hirarkhi peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut: 1. UUD 2. TAP MPR 3. UU/PERPU 4. Peraturan Pemerintah 5. Peraturan Presiden 6. Peraturan Daerah Provinsi 7. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Melihat hirarkhi peraturan perundag-undangan diatas, jelas terlihat adanya kegamangan dan inskonsistensi baik di lembaga MPR maupun DPR serta Pemerintah dalam menempatkan suatu bentuk dan jenis peraturan dengan peraturan lainnya.
Meskipun di dalam hirarkhi peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan hanya mencantumkan 7 bentuk dan jenis peraturan perundang-undangan, akan tetapi masih banyak produk hukum (dilihat dari bentuk dan jenisnya) yang diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Hal ini diatur dalam pasal 8 Undang-Undang No.12 Tahun 2011 “(1) Jenis peraturan perundangan selain sebagaimana dimaksud dalam pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, Badan, Lembaga atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan undangundang atau pemerintah atas perintah undang-undang, DPRD Provinsi, Gubernur, DPRD Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala desa atau setingkat. (2) Peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaskud pada ayat (1) diakui keberadaanya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintah oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.”
Salah satu bentuk produk hukum yang dibentuk atas perintah peraturan perundangundangan atau dibentuk berdasarkan kewenangan adalah Peraturan Menteri. Peraturan Menteri menurut Penjelasan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2011 diartikan sebagai peraturan yang ditetapkan oleh menteri berdasarkan materi muatan dalam rangka penyelenggaran urusan tertentu dalam pemerintahan.
Mengingat pentingnya kedudukan menteri dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan dan sebagai upaya melaksanakan urusan pemerintahan yang dibidanginya maka menteri diberikan kewenangan untuk membentuk perundang-undangan. Seperti pendapat Rosjidi Ranggawidjaja yang menyatakan:
“Mengenai kewenangan menteri dalam pembentukan peraturan perUndangUndangan pada dasarnya ada dua jenis peraturan perundang-undangan yang dapat ditetapkan oleh menteri, yaitu peraturan menteri dan keputusan menteri. Oleh karena menteri adalah pembantu presiden. Maka para menteri menjalankan kewenangan pemerintahan di bidangnya masing-masing berdasarkan delegasian wewenang (derivatif) dari Presiden. Keputusan presiden tentang pokok-pokok organisasi departemen, misalnya merupakan turunan kewenangan dari Presiden. Keputusan presiden tentang Pokok-Pokok Organisasi Departemen, misalnya merupakan turunan Presiden kepada Menteri-menteri. Untuk materi tertentu, kewenangan tersebut dapat juga diberikan melalui atribusi atau delegasi dari Undang-Undang atau Peraturan Pemerintah. Walaupun dibedakan antara Peraturan Menteri dengan Keputusan menteri (yang berisi pengaturan). Pada kenyataannya tidak jelas materi apa yang harus diatur dengan Peraturan Menteri. Yang pasti bahwa keduanya merupakan peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.”
C. Fungsi Negara (Pemerintah) dalam menjamin warga
Negara-nya dari bentuk kekerasan dan pelecehan seksual
Dalam teori kenegaraan dapat ditemukan beberapa fungsi negara yang bersifat universal yaitu adanya kewajiban suatu negara untuk mewujudkan kepentingan masyarakat atau yang lebih tepat dikatakan kepentingan umum, dengan memperhatikan bentuk atau sistem pemerintahan yang dibangun oleh negara yang bersangkutan. fungsi negara yang dimaksud yakni:
Pertama, fungsi regular (regular function) atau fungsi pengaturan. Setiap negara harus melaksanakan fungsi utamanya yaitu pengaturan yang merupakan motor penggerak jalannya roda pemerintahan, tanpa adanya pelaksanaan fungsi dimaksud, maka secara dejure negara itu tidak ada. Sebab dengan melaksanakan fungsi tersebut akibatnya secara langsung dapat dirasakan oleh masyarakat secara keseluruhan.
Kedua, fungsi pembangunan (developing function). Pembangunan pada hakikatnya merupakan perubahan yang terencana, dilakukan secara terus menerus untuk menuju pada satu perbaikan yang telah ditetapkan sebelumnya. Tujuan negara dimaksud tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, secara tegas dikemukakan bahwa “untuk melindungi segenap bangsa Indonesia untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia”. Semangat inilah yang kemudian melandasi pengelolaan Negara dan Pemerintahaan , untuk mencapai kebaikan dan kesejahteraan bersama.
Negara harus secara serius menegakkan keadilan, karena penegakkan keadilan adalah fungsi utama negara. Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, walaupun perekenomian masyarakat belum maju, kalau negara mampu menegakkan keadilan, maka rakyat akan setia kepada negara dan tahan hidup menderita dalam berjuang mewujudkan kehidupan yang lebih baik dan maju.
Ketika kita menilik dalam bentuk peraturan perundang-undangan ada beberapa aturan hukum yang berlaku di Indonesia mengenai bentuk penjaminan terhadap kekerasan dan pelecehan seksual, dalam konsideran Permendikbudriset dikti No.30 Tahun 2021 ialah Pasal 17 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women), Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Seperti telah disebutkan yang di atas bahwa menjadi tugas yang wajib bagi pemerintah dalam hal ini Menteri Pendidikan Kebudayaan dan Riset dan Teknologi ialah Nadiem Makarim untuk mengeluarkan kebijakan untuk menjamin tata kelola yang baik di lingkungan kampus perihal kekerasan dan pelecehan seksual.
Mari kita sedikit melihat data kekerasan dan pelecehan di lingkungan kampus, memang menjadi satu hal yang sulit ketika kita mencari data dan fakta perihal kekerasan dan pelecehan seksual dilingkungan kampus. Namun penulis mencoba untuk memberikan beberapa data yang terungkap dari beberapa kampus di Indonesia.
Data dari Maret 2019-2021 Direktorat Advokasi HopeHelps UI mencatat ada 69 Kasus Kekerasan di lingkungan Kampus Universitas Indonesia, Direktur Advokasi HopeHelps UGM mencatat 12 kasus dari bulan januari-november 2021, Data Komnas Perempuan pada oktober 2020 telah terjadi 27% aduan kasus kekerasan dan pelecehan seksual di lingkungan perguruan tinggi dalam rentang waktu 2015-2020, Sementara itu survey yang dilakukan oleh Kemendikbudristek pada tahun 2020 menemukan sekitar 77% dosen yang disurvei mengakui telah terjadi tindak kekerasan seksual di kampus mereka. Namun, sebanyak 63% dari dosen yang mengakui terjadinya tindak kekerasan seksual di kampusbya itu memilih tidak melaporkan atau mendiamkan kasus tersebut, dan beberapa kasus terjadi yang di kutip di m.media Indonesia.com ialah di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, Universitas Padang, Universitas Palangkaraya, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Jember, Iain Kediri, Iain Gorontalo bahkan yang menjadi viral kemarin salah satu mahasiswi Universitas RIAU yang berani speak up mengenai kasus yang dialami-nya. Data yang disebutkan oleh penulis di atas hanya sebagian kecil dari praktik kekerasan dan pelecehan seksual di kampus yang terungkap.
D. Hadirnya Permendikbudrisetdikti Nomor 30 Tahun 2021 sebagai dasar hukum untuk bertindak kepada para predator seks dalam lingkup kampus
Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi, meneken Permendikbud-Ristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual pada 31 Agustus 2021. Peraturan ini, menurut Nadiem, adalah jawaban dari kegelisahan banyak pihak, mulai terutama mahasiswa dan mahasiswi di seluruh Indonesia atas tindakan kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Aturan ini menjadi pegangan bagi korban kekerasan seksual di kampus yang selama ini tidak bisa berpegangan pada hukum lainnya, jelas Nadiem. Selain itu Nadiem juga berpandangan jika ada sejumlah keterbatasan dalam penanganan kasus kekerasan seksual apabila menggunakan KUHP, padahal banyak juga kasus kekerasan berbasis online yang tidak diatur di KUHP. Nadiem juga menjelaskan jika dampak psikologis yang dialami korban kekerasan seksual secara digital juga sama dengan korban kekerasan seksual secara langsung.
Data KRPA (Koalisi Ruang Publik Aman) tingkat terjadi kekerasan seksual: 1. Jalanan Umum, 2. Transportasi Umum 3. Perguruan Tinggi (Lingkungan Kampus) Beleid yang dikeluarkan oleh Menteri Nadiem ini punya dua tujuan utama yaitu sebagai pedoman bagi Perguruan Tinggi untuk menyusun kebijakan dan mengambil tindakan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual yang terkait dengan pelaksanaan Tridharma di dalam atau di luar kampus; dan untuk menumbuhkan kehidupan kampus yang manusiawi, bermartabat, setara, inklusif, kolaboratif, serta tanpa kekerasan di antara Mahasiswa, Pendidik, Tenaga Kependidikan, dan Warga Kampus di Perguruan Tinggi.
Beleid yang dikeluarkan oleh Menteri Nadiem ini menuai dukungan dan juga penolakan. Motor penolak beleid ini, misalnya adalah PKS. Partai ini, melalui legislatornya Sakinah Aljufri, anggota Komisi X DPR RI menjelaskan jika Permendikbudristek ini tidak mengatur perbuatan zina dan perilaku menyimpang LGBT yang dilarang oleh agama sebagai satu bentuk kejahatan seksual. Selain itu Permendikbud ini memuat frasa tanpa persetujuan Korban. Ini artinya Mendikbudristek sama saja melegalkan secara diam-diam seks bebas dan perbuatan menyimpang LGBT di kampus asal dilakukan dengan persetujuan pelakunya, ini merusak generasi bangsa.
Ia juga mencontohnya tentang pelaku yang membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban termasuk Kekerasan Seksual. Artinya, menurut Sakinah, jika dilakukan dengan persetujuan Korban, dilakukan dengan dalih suka sama suka berarti tidak merupakan Kekerasan Seksual. Perbuatan ini dengan atau tanpa persetujuan korban tetap salah dan tidak sesuai dengan norma agama dan norma adat yang luhur serta budaya luhur bangsa kita.
Di sisi lain, para pendukung Permendikbud-Rister, misalnya Alissa Wahid, menjelaskan peraturan itu adalah bentuk komitmen Mendikbudristek, Nadiem Makarim untuk memberantas salah satu dosa besar di dunia pendidikan Indonesia, yaitu pelecehan seksual. Alissa juga berpendapat, jika korban kekerasan seksual di kampus sulit untuk memproses kasusnya dan bahkan malah kerap mendapat tekanan dari kampus dan kehidupan sosial. Berdasarkan data (Internasional NGO Forum on Indonesionan Development) INFID tahun 2020 57% korban mengaku tidak ada penyelesaian, 39,9% menyelesaikan kasus tersebut dengan membayar uang, 26,2% menikah dengan pelaku, 23,8% berdamai dengan keluarga
Menilik pandangan yang diberikan dari kedua persepsi yang mendukung atau menolak di atas, penulis memandang ketika kita berbicara dalam menafsirkan sebuah pasal yang menjadi polemic yakni tertuang dalam Pasal 5 adanya frasa “Tanpa Persetujuan Korban”, dalam menafsirkan sebuah produk hukum kita kenal dengan penafsiran ekstensif ialah bagaimana kita menafsirkan secara mendalam daripada hanya sebatas penafsiran gramatikal (bahasa), Hal tersebut pula memberikan ruang antara pemikiran yang humanis melawan pemikiran teologis, Sejatinya janganlah kita menafsirkan hanya dalam perspektif yang pendek saja, karena sampai sekarang dasar hukum untuk melakukan tindakan represif ketika terjadi kekerasan dan pelecehan seksual di kampus sangat sulit dengan factor penyebab paling besar adanya “relasi kuasa” maka sepatutnya perdebatan antara humanis dan teologis sudah selesai dan kita pula bersepakat bahwa tidak ada agama yang di akui Indonesia melegalkan yang namanya “perzinahan” dan biarkan agama itu menjadi kewajiban individu dalam hal untuk berpedoman dalam hidup.
Coba kita bayangkan sampai kapan kekerasan dan pelecehan seksual terjadi dan tidak ada penyelesaian untuk setiap kasus yang ada, bahkan hal tersebut pun sesuai data yang dituangkan oleh penulis banyak sekali kasus dengan tidak ada penyelesaiannya, apalagi dalam permendikbud nomor 30 tahun 2021 memberikan sebuah mekanisme yang secara komprehensif dari pencegahan, penanggulangan serta membuat satuan tugas di lingkungan kampus bahkan sampai pada sanksi admnisitratif secara ringan, sedang dan berat untuk diberikan kepada predator seks di kampus, maka daripada itu penulis sangat prihatin ketika permendikbud hadir ditafsirkan secara overthinking (berlebihan).
(Editor : Gamaliel Pombengi)