(Penulis : Zidan Takalamingan, S.H)
- PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum.[1] Hal ini membuktikan bahwa proses bernegara di Indonesia harus didasarkan pada ketentuan hukum yang berlaku dengan kata lain Indonesia menjunjung tinggi supremasi hukum. Pasal ini dimaknai sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari konsepsi rechtstaat dan rule of law. [2]
Maka daripada itu Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan terbaru untuk bagaimana cara kita bernegara yang baik, dalam perihal menerima layanan publik mengharuskan adanya persyaratan aktif sebagai kepersertaan BPJS Kesehatan. Alasannya, untuk mengoptimalkan pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)[3] Peraturan baru itu sebagai tindak lanjut dari Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2022 untuk mengoptimalkan manfaat BPJS Kesehatan kepada seluruh masyarakat Indonesia, yang ditandatangani Presiden Joko Widodo sejak 6 Januari 2022.
Kepesertaan BPJS Kesehatan sebagai syarat mendapat pelayanan publik menjadi sorotan sejumlah kalangan. Sebagaimana diberitakan media, ada sebagian masyarakat yang kaget ketika ingin mendapatkan pelayanan publik, tapi dikenakan syarat wajib pada diktum kedua dalam Inpres tersebut menjadi peserta BPJS Kesehatan terlebih dulu, seperti sebagai syarat jual beli tanah (pengurusan sertipikat tanah), penerbitan SIM, STNK, SKCK, hingga IMB. Ada pandangan yang menyebutkan pengenaan syarat itu tidak tepat.[4]
Mulai 1 Maret 2022 Peraturan ini akan berlaku secara umum, BPJS Kesehatan yang dilampirkan bisa dari seluruh kelas, baik kelas 1,2, maupun kelas 3. Aturan ini seketika menuai kritik publik, banyak masyarakat mempertanyakan korelasi pembuatan SIM, STNK,SKCK dan Jual Beli Tanah dengan Kepesertaan BPJS Kesehatan.
Namun hal tersebut langsung dijawab maksud dan tujuan dikeluarkan Inpres tersebut, oleh Staf Khusus Kementrian ATR/BPN Teuku Taufiqulhadi mengatakan, Aturan tersebut dibuat dalam rangka optimalisasi manfaat BPJS Kesehatan kepada seluruh masyarakat Indonesia. Dan sebagai kepala Negara, Presiden Jokowi langsung memerintahkan kepada seluruh menteri, kemudian gubernur, bupati dan walikota agar mengambil langkah-langkah sesuai tugas, fungsi dan kewenangan masing-masing untuk mengoptimalisasi program Jaminan Kesehatan Nasional.[5]
Maka dalam tulisan ini kita akan menilik kotroversi yang terjadi melihat dari kacamatan kedudukan Instruksi Presiden dalam ketatanegaraan di Indonesia dan implikasi Hukum dalam Penyelenggaraan Pemerintahan dengan semangat reformasi birokrasi saat ini.
B. Rumusan Masalah
Bedasarkan latar belakang yang diuraikan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini yaitu:
a. Bagaimana Kedudukan Instruksi Presiden Dalam Ketatanegaran di Indonesia?
b. Implikasi Hukum Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022 Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan?
C. Metode Penelitian
Dengan berdasar pada metode penelitian hukum, maka penulisan,“KONTROVERSI KEBIJAKAN BPJS KESEHATAN SEBAGAI SYARAT PEMBUATAN SIM, STNK, SKCK & JUAL BELI TANAH”, menggunakan metode yuridis normatif, adapun langkah-langkah yang dilakukan untuk mengumpulkan data adalah melalui studi kepustakaan (library research) dan pencarian data melalui internet (online research).
Dalam penulisan ini, sumber data yang digunakan adalah data primer dan sekunder terdiri dari:
(1) Bahan Hukum Primer yang terdiri dari peraturan perundang-undangan
(2) Bahan hukum sekunder diambil dari buku-buku, literatur, jurnal, artikel, maupun informasi lain yang diperoleh dari media massa.
2). PEMBAHASAN
A. Kedudukan Instruksi Presiden Dalam Ketatanegaraan di Indonesia
Peraturan kebijakan memiliki substansi dan kekuatan mengikat yang tidak berbeda dengan peraturan perundang-undangan contohnya ialah Instruksi Presiden, tetapi arus besar pemikiran hukum tidak mengkategorikan peraturan kebijakan sebagai peraturan perundangundangan. Padahal, menurut Attamimi, peraturan kebijakan jika dilihat dari bentuk dan formatnya seringkali sama dengan peraturan perundangundangan, lengkap dengan pembukaan berupa konsiderans “menimbang”, dasar hukum “mengingat”, batang tubuh berupa pasal-pasal, bagian, bab, serta penutup yang serupa dengan peraturan perundang-undangan.[6]
Namun menurut Philipus M.Hadjon, peraturan kebijakan pada hakikatnya merupakan produk dari perbuatan tata usaha negara yang bertujuan “naar buiten gebracht schricftelijk beleid”, yaitu menampakkan keluar suatu kebijakan tertulis. Peraturan kebijakan hanya berfungsi sebagai bagian dari operasional penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan, karena tidak dapat mengubah atau menyimpangi peraturan perundang-undangan. Peraturan ini adalah semacam hukum bayangan dari undang-undang atau hukum.[7]
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan Instruksi Preisiden adalah sebagai bentuk dari tindakan atau perbuatan administrasi yang dilaksanakan oleh Presiden sebagai pimpinan administrasi negara tertinggi. Presiden memiliki kewenangan di bidang administratif untuk mengeluarkan Instruksi Presiden berdasarkan Pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Instruksi Presiden secara teoritis seharusnya hanya berisi perintah saja.
Kenyataan menunjukkan bahwa beberapa Instruksi Presiden mengandung materi muatan lain selain perintah, yaitu peraturan kebijaksanaan dan penetapan (beschikking). Hal tersebut tidak tepat mengingat Presiden telah dilekati kewenangan untuk menetapkan Peraturan Presiden dan Keputusan Presiden, selain itu beberapa Instruksi Presiden menjadi tidak efektif dalam menyelesaikan masalah. Untuk menghindari hal tersebut, dalam penerbitan Instruksi, Presiden seharusnya tidak memasukkan materi muatan pengaturan baru dalam Instruksi dan sedapat mungkin tidak menimbulkan efek pengaturan terhadap masyarakat.
Secara praktis kewenangan diskresi administrasi negara yang kemudian melahirkan peraturan kebijakan, mengandung dua aspek pokok; Pertama, Kebebasan menafsirkan mengenai ruang lingkup wewenang yang dirumuskan dalam peraturan dasar wewenangnya. Aspek pertama ini lazim dikenal dengan kebebasan menilai yang bersifat objektif. Kedua, kebebasan untuk menentukan sendiri dengan cara bagimana dan kapan wewenang yang dimiliki administrasi negara itu dilaksanakan. Aspek kedua ini dikenal dengan kebebasan menilai bersifat subjektif.[8]
Oleh karena itu seharusnya peraturan kebijakan diatur dalam UndangUndang untuk mencegah penggunaan peraturan kebijakan secara sewenangwenang, maka lahirlah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Pemerintahan, yang lebih menarik penjelasan mengenai pengaturan konsep diskresi Naskah Akademik RUU Administrasi Pemerintahan tidak memberikan ratio legis yang komprehensif terhadap pengaturan konsep diskresi.
Diskresi secara khusus diatur dalam Bab VI UU Administrasi Pemerintahan. Sebelumnya Pasal 1 mendefinisikan diskresi sebagai keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. Definisi tersebut memberikan unsur-unsur diskresi, antara lain:[9]
1) Berupa keputusan dan/atau tindakan;
2) Ditetapkan dan/atau dilakukan;
3) Dilakukan oleh pejabat pemerintahan;
4) Untuk mengatasi persoalan konkret dalam penyelenggaraan pemerintahan;
5) Diskresi tersebut dilakukan dalamhal (bersifat alternatif):
a. Peraturan perundang-undangan memberikan pilihan;
b. Peraturan perundang-undangan tidak mengatur;
c. Peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas;
d. Adanya stagnasi pemerintahan
Definisi tersebut menunjukkan bahwa diskresi tidak hanya berupa keputusan tetapi dapat juga berupa tindakan atau keputusan yang disertai dengan tindakan. Tindakan dalam konteks ini dimaknai UU Administrasi Pemerintahan sebagai perbuatan pejabat pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.[10]
B. Impilkasi Hukum Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022 Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan
Melihat konsep negara hukum kesejahteraan (welfarestate) yang dianut dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, pemerintah berperan dalam mensejahterakan masrayakat. Pemerintah mulai dari presiden, menteri, gubernur hingga perangkat desa mengemban tugas untuk memberikan kesejahteraan kepada masyarakatnya. Dengan pemberian tugas atau tanggung jawab tentang kesejahteraan masyarakat yang dimana dibebankan kepada Administrasi Negara maka diberikan juga kewenangan yang besar untuk memutus perkara yang sekiranya dianggap merugikan masyarakat yang disebut dengan freies emerssen.[11]
Yang disebut dengan merugikan masyarakat diatas adalah dimana pemerintah dengan sewenang-wenangnya memutus hak asasi warga. Dengan melihat atau berupaya untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang oleh pemerintah terhadap masyarakat pemberlakuan asas-asas diterapkan di Indonesia dimana asas-asas tersebut mengatur jalanya kehidupan bermasyarakat dan mengatur pemerintah dalam membuat keputusan atau membuat peraturan.
Dalam penerapannya asas-asas umum pemerintahan yang baik memegang peran untuk dijadikan pedoman bagi masyarakat untuk menentang ketentuan atau peraturan yang di buat oleh pemerintah yang dianggap merugikan masyarakat atau peraturan tersebut tidak jelas dan penerapan asas asas umum pemerintahan yang baik.
Maka jika kita menilik isi muatan dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2022 mengenai syarat membuat SIM, STNK, SKCK dan Jual Beli Tanah harus merupakan peserta aktif dalam program JKN.
Pertama, Pada poin 25. Termuat sebuah perintah kepada Kepala Kepolisian Republik Indonesia, untuk melakukan penyempurnaan regulasi bagi pembuatan Surat Izin Mengemudi, Surat Tanda Nomor Kendaraan dan Surat Keterangan Catatan Kepolisian wajib sebagai peserta aktif dalam program jaminan kesehatan nasional.
Kedua, Pada poin 17, termuat sebuah perintah kepada Mentri ATR/BPN untuk mewajibkan pemohon pembuat pendaftaran peralihan hak tanah karena jual beli merupakan peserta aktif dalam program jaminan kesehatan nasional.
Berdasarkan kedua poin tersebut mari kita analisa implikasi yang akan terjadi ketika sebuah kebijakan yang dikeluarkan presiden kepada seluruh rakyat Indonesia, Implikasi tersebut akan penulis uraikan dengan beberapa point dibawah ini:
Pertama, Instruksi Presiden No.1 Tahun 2022, sudah membuat sebuah peraturan kebijakan yang memiliki isi muatan yang sama dengan sebuah peraturan perundang-undangan, dikarenakan telah mencoba untuk membuat norma baru dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Karena sebuah Peraturan kebijakan menurut Philipus M.Hadjon pada hakikatnya merupakan produk dari perbuatan tata usaha negara yang bertujuan “naar buiten gebracht schricftelijk beleid”, yaitu menampakkan keluar suatu kebijakan tertulis. Peraturan kebijakan hanya berfungsi sebagai bagian dari operasional penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan, karena tidak dapat mengubah atau menyimpangi peraturan perundang-undangan yang ada bahkan lebih tinggi.
Kedua, Instruksi Presiden No.1 Tahun 2022, Jika program BPJS Kesehatan menjadi syarat untuk mendapatkan layanan publik. Dengan menambah syarat baru tanpa direvisi peraturan yang telah mengatur sebelumnya untuk syarat mengurus SIM, STNK, SKCK dan Jual beli tanah. Instruksi tersebut tidak melihat hirarki peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka daripada itu aturan tersebut bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi (Lex Superior Derogat Legi Inferiori). Spesifikasi syarat untuk mengurus seluruh administrasi di atas diatur dalam: PP No.37 Nomor 1998 Tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah, PP Nomor 44 Tahun 1993 Kendaraan dan Pengemudi, dan UU Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Kita ketahui bersama dalam Teori hierarki, yang mengenai sistem hukum diperkenalkan oleh Hans Kelsen menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang. Hubungan antara norma yang mengatur perbuatan norma lain dan norma lain tersebut dapat disebut sebagai hubungan super dan sub-ordinasi dalam konteks spasial. [12] Hans Kelsen pun menambahkan bahwa pernah menulis dalam bukunya penciptaan atau pembuatan norma-norma yang lebih rendah adalah ditentukan oleh norma-norma yang lebih tinggi, dan norma yang tertinggi merupakan validitas dari seluruh tatanan hukum. [13]Dari kutipan diatas maka norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi.
Ketiga, Instruksi Presiden No.1 Tahun 2022, Tidak sesuai dengan visi reformasi birokrasi dalam pelayanan publik, karena Inpres tersebut tidak menciptakan penyederhanaan birokrasi melainkan sebaliknya.
Keempat, Instruksi Presiden No.1 Tahun 2022, Dengan dikeluarkan kebijakan ini pemerintah Indonesia yakni Presiden Jokowi tidak melihat kondisi perekonomian masyarakat Indonesia di kalangan bawah, yang dimana masih berupaya untuk menghidupkan sanak keluarga-nya di tengah adanya pandemi Corona Virus Disease 19 bahkan bertentangan dengan Pasal 28 H ayat 1 UUD NRI Tahun 1945 mengenai “berhak memperoleh pelayanan kesehatan”.[14]
3. PENUTUP
- Kesimpulan
a. Setelah mengkaji kontroversi syarat aktif BPJS Kesehatan sebagai syarat untuk mendapatkan pelayanan publik dalam mengurus SIM, STNK, SKCK dan Jual Beli Tanah dalam perspektif Yuridis-Normatif ini, dapat dilihat bahwa pemerintah Indonesia Telah terjadi miskonsepsi pemerintah Indonesia perihal pembentukan sebuah instruksi presiden dengan tidak melihat kedudukan sebagai peraturan kebijakan
b. Telah terjadi miskonsepsi pemerintah Indonesia dalam hal ini Presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan masih belum memberikan sebuah kebijakan soluktif perihal mengelola program JKN tersebut, malahan lebih menambah masalah baru seperti terjadi diskriminatif untuk mendapat layanan kesehatan yang sudah dijamin dalam konstitusi Indonesia
2. Saran
a. Melihat lebih luas lagi kebijakan seperti apa yang akan dikeluarkan agar pengelolaan JKN akan efektif tanpa memaksakan atau bahkan merugikan masyarakat Indonesia.
b. Memformulasikan sebuah kebijakan yang memang betul untuk kebaikan rakyat Indonesia dengan berdasarkan melihat situasi saat ini perihal kondisi Indonesia
c. Harus melakukan sebuah analisa skala prioritas, seperti apa yang akan Negara utamakan apakah kepentingan Negara atau kepentingan umum, contoh-nya menyampingkan dulu sebuah kebijakan yang akan merugikan Negara Indonesia secara keseluruhan.
(Redaksi : Gama Pombengi)