(Kajian Konstitusionalitas Rezim Presidential Threshold)
Penulis:
Pascal W.Y Toloh, SH
(Director Manado Legal Studies Community)
A. Pendahuluan
1. Latar Belakang
Pada Tahun 1945 para founding fathers negara Indonesia dalam forum usaha-usaha dan persiapan kemerdekaan Indonesia telah mancapai mufakat bahwa Indonesia adala negara republik atau pemerintahan yang berdasarkan kedaulatan rakyat (Demokrasi). Dalam negara demokrasi salah satu sarana kedaulatan rakyat adalah Pemilihan Umum yang harus dilaksanakan secara demokratis dengan landasan konstitusional.
UUD NRI 1945 mengamanatkan bahwa Pemilihan Umum (Pemilu) dilaksanakan berdasarkan prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil serta dilaksanakan secara berkala selama lima tahun sekali guna memberikan kesempatan kepada konstituen untuk mengevaluasi kepemimpinan eksekutif maupun wakilnya diparlemen apakah akan kembali dipilih atau harus dilakukan pergantian pemangku kekuasaan sesuai dengan daulat rakyat, Pemilu yang sebelumnya dilaksanakan pada Tahun 2019 maka sesuai dengan kalender masehi akan kembali dilaksanakan agenda demokrasi politik tersebut pada Tahun 2024.
Dalam perencanaan Pemilu tersebut pihak eksekutif, legislatif dan lembaga penyelenggara Pemilu telah melaksanakan musyawarah pada tanggal 24 januari 2022 melalui rapat kerja Komisi II DPR RI bersama Menteri Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang dilaksanakan di Gedung DPR RI Senayan Jakarta, telah menyepakati penyelenggaran pemungutan suara Pemilu serentak 2024 dilaksanakan pada 14 Februari 2024 yaitu untuk Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Dalam tulisan ini penulis akan berfokus pada pembahasan konsepsi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, dalam konstitusi konsepsi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden diatur pada Pasal 6A UUD NRI 1945, terkait mekanisme pada ayat (1) menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, dan terkait tata cara pada ayat (2) menyatakan Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa partai politik peserta pemilihan umum memiliki hak konstitusional dalam pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Tetapi dalam peraturan pelaksanaannya yaitu Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum memuat ketentuan Presidential Threshold atau ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, pada Pasal 222 menyatakan “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”, sehingga mengenai ambang batas pengusulan calon presiden dan wakil presiden untuk tahun 2024 mengacu pada perolehan kursi DPR dan/atau perolehan suara sah secara nasional dalam Pemilihan Umum 2019.
Ketentuan tersebut secara tidak langsung menghilangkan hak konstitusional partai politik baru dalam mengusung pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden karena kemungkinan besar harus berkoalisi dengan partai besar di parlemen untuk memenuhi ambang batas 20% sebagaimana yang di maksud dalam Undang-Undang No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Norma tersebut juga membatasi hak konstitusional warga negara yang memiliki hak suara (right to vote) karena kemungkinan besar hanya akan terdapat dua pasangan calon atau menutup alternatif pilihan calon Presiden dan Wakil Presiden. Konsepsi Presidential Threshold mengharuskan partai politik melakukan konsolidasi besar-besaran untuk mencapai ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden dan mereduksi hak partai politik baru untuk berpartisipasi dalam Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, konsep tersebut membuat buruk kualitas demokrasi dan melahirkan dominasi oligarki atau kekuasaan ditangan sekelompok elit. Demokrasi Indonesia seyogyanya memiliki esensi pluralis yaitu memberikan ruang kepada seluruh elemen masyarakat untuk berpartisipasi selama sesuai dengan ketentuan konstitusi atau prinsip demokrasi yang berdasarkan hukum (Constitutional Democracy).
2. Rumusan Masalah
- Bagaimanakah Pelaksanaan Pemilu Demokratis menurut Konstitusi?
- Bagaimakah Konsep dan Implikasi penerapan Rezim Presidential Threshold?
3. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan adalah penelitian yuridis normative yaitu penelitian hukum yang dilakukan dengan cara meneliti tulisan pustaka atau data sekunder belaka yang berhubungan dengan judul tilisan ini. Penelitian hukum yuridis normatif adalah penelitian hukum yang mengkaji hukum tertulis dari berbagai aspek yaitu aspek teori, sejarah, filosofi, perbandingan, struktur dan komposisi, lingkup dan materi, konsistensi, penjelasan umum dan Pasal demi Pasal, formalitas dan mengikatnya suatu undang-undang serta bahasa hukum yang digunakan.[1] Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan komparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach).[2] Dalam penelitian ini seluruh pendekatan tersebut akan digunakan sesuai dengan permasalahan yang diteliti. Dengan demikian terbuka kemungkinan untuk menggunakan seluruh atau sebagian pendekatan tersebut sesuai dengan kebutuhan. Data untuk penelitian ini dikumpulkan melalui penelitian kepustakaan (library reasearch). Bahan kepustakaan akan meliputi bahan hukum primer berupa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan berbagai Undang–Undang yang berkaitan dengan Pemilihan Umum di Indonesia. Bahan hukum sekunder berupa bahan yang memberikan kejelasan terhadap bahan hukum primer berupa hasil penelitian, makalah, artikel, surat kabar, dan lain–lain. Sedangkan bahan hukum tersier, yaitu sumber yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder seperti kamus dan ensiklopedia.
B. Pembahasan
1. Pemilihan Umum Demokratis
Kedaulatan rakyat saja tentu tidak cukup, sebagaimana kedaulatan hukum saja juga tidak cukup. Apabila konsep demokrasi dijalankan tanpa dibingkai oleh rambu-rambu hukum, maka yang terjadi adalah anarkisme sebaliknya, jika hukum ditetapkan tanpa melalui prosedur-prosedur demokratis, maka yang terjadi adalah praktik-praktik represif dan koersif kekuasaan yang diabsahkan oleh hukum. Keduanya harus dipahami sebagai dua hal yang komplementer dan saling mengisi satu sama lain.Oleh karena itu, menurut Asshiddiqie, Indonesia menganut paham “negara hukum yang demokratis” (democratische rechtsstaat) sekaligus paham “negara demokrasi yang berdasar atas hukum” (constitutional democracy).[3] Pengejawantahan Negara demokrasi yang berdasar atas hukum (Constitutional Democracy) salah satunya adalah penyelenggaraan Pemilihan Umum, Negara demokrasi yang berdasar atas hukum secara mutlak mensyaratkan pelaksanaan Pemilu harus Demokratis atau sesuai dengan konstitusi yang adalah resultante dari kontrak sosial antara warga negara dengan negara (pemerintah).
Prinsip Pemilu Demokratis dalam Konstitusi Indonesia selain dalam UUD NRI 1945, termuat juga dalam Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950. Makna pemilu dalam Konstitusi RIS 1949 terdapat dalam Pasa 34 yang menyatakan “Kemauan Rakjat adalah dasar kekuasaan penguasa, kemauan itu dinjatakan dalam pemilihan berkala jang djudjur dan jang dilakukan menurut hak pilih jang sedapat mungkin bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara jang rahasia ataupun menurut tjara jang djuga mendjamin kebebasan mengeluarkan suara”.
Begitu juga dalam UUDS 1950, asas yang sama masih diadopsi, dalam Pasal 35 UUDS menyatakan “kemauan rakjat adalah dasar kekuasaan penguasa, kemauan itu dinjatakan dalam pemilihan berkala jang bersifat umum dan berkesamaan, serta dengan pemungutan suara jang rahasia ataupun menurut tjara jang djuga mendjamin kebebasan mengeluarkan suara”. Dalam kedua konstitusi tersebut prinsip atau asas dalam penyelenggaraan pemilu yakni asas atau prinsip berkala, jujur, menjamin hak pilih, umum, berkesamaan, rahasia dan bebas. Prinsip penyelenggaraan pemilu tersebut berhasil digunakan dalam Pemilu 1955 sehingga pemilu sukses dilaksanakan dengan proses yang demokratis, bahkan menurut para ahli hukum tata negara menilai Pemilu 1955 merupakan Pemilu paling demokratis dalam sejarah Pemilu Indonesia.
Pemilihan umum adalah salah satu hak asasi warga negara yang sangat prinsipiil. Karenanya dalam rangka pelaksanaan hak-hak asasi adalah suatu keharusan bagi pemerintah untuk melaksanakan pemilihan umum. Didalam konstitusi kita Undang-Undang Dasar NRI 1945 mengatur tentang adanya pemilu yaitu di bab VIIB Pasal 22E yaitu tentang Pemilihan Umum. Sesuai dengan asas bahwa rakyatlah yang berdaulat, maka semuanya itu harus dikembalikan kepada rakyat untuk menentukannya, adalah suatu pelanggaran terhadap hak-hak asasi apabila pemerintah tidak mengadakan pemilihan umum atau memperlambat pemilihan umum tanpa persetujuan dari wakil-wakil rakyat.
Tidak dapat dikatakan sebagai Pemilu yang berhasil, jika mereka terpilih melalui cara-cara yang penuh dengan pelanggaran dan kecurangan yang bertentangan dengan asas Luber dan Jurdil.[4]Asas langsung, umum, bebas dan rahasia terkait dengan cara pemilih menyampaikan suaranya, yaitu harus secara langsung tanpa diwakilkan berlaku umum bagi semua warga negara, dilakukan secara bebas tanpa adanya paksaan, dan secara rahasia. Asas jujur mengandung arti bahwa Pemilu harus dilaksanakan oleh penyelenggara dengan prinsip kejujuran atau tidak membuat suatu kecurangan, seperti tidak boleh ada suara pemilih yang dimanipulasi . Sedangkan asas adil, adalah perlakuan yang sama terhadap peserta Pemilu dan pemilih, tanpa ada pengistimewaan ataupun diskriminasi terhadap peserta Pemilu atau pemilih tertentu.
Asas jujur dan adil mengikat tidak hanya kepada pemilih ataupun peserta pemilu, tetapi juga penyelenggara Pemilu. Asas jujur dan adil tidak hanya terwujud dalam mekanisme prosedural pelaksanaan Pemilu, tetapi juga harus terwujud dalam segala tindakan penyelenggaraan, peserta, pemilih, bahkan pejabat pemerintah. Dengan demikian, asas jujur dan adil menjadi spirit keseluruhan pelaksanaan Pemilu. Menurut Jimly Asshiddiqie, “asas luber menyangkut sifat objektif yang harus ada dalam proses pelaksanaan atau mekanisme Pemilu, terutama pada saat seseorang melaksanakan hak pilihnya, sedangkan asas Jurdil terutama terkait dengan sikap subjektif penyelenggara dan pelaksana Pemilu yang harus bertindak jujur dan adil.”[5]
Menelusuri perkembangan asas-asas pemilu tersebut, konstitusi Indonesia menghendaki pemilu dilaksanakan secara demokratis, menurut Khairul Fahmi prinsip-prinsip demokrasi yang terkandum dalam UUD NRI 1945 mencakup prinsip esensial dan prinsip prosedural. Prinsip esensial berupa adanya jaminan hak pilih sebagai bagian dari Hak Asasi Manusia, kebebasan dalam memberikan suara dan kesetaraan atau persamaan hak pilih antar warga negara. Adapun prinsip prosedural mencakup prinsip suara terbanyak dalam pemilu dan prinsip pertanggungjawaban pejabat yang dipilih dalam pemilu terhadap konstituennya.[6] Sesuai prinsip demokrasi menurut UUD NRI 1945 tersebut, prinsip pemilu demokratis yang dikehendaki konstitusi setidaknya adalah prinsip: (1) kebebasan dan kerahasiaan pilihan; (2) kesetaraan hak pilih: (3) suara terbanyak; (4) kepastian dan kejujuran; serta (5) keterbukaan dan pertanggung-jawaban.[7]
Salah satu prinsip fundamental dalam penyelenggaraan Pemilu Demokratis adalah hak warga negara untuk memilih dan dipilih (right to vote & right to be candidate) hak tersebut merupakan hak konstitusional dan hak universal karena dijamin dalam oleh konstitusi, undang-undang maupun konvensi internasional. Secara konstitusonal hak pilih ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi merupakan hak atas kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 27 ayat (1) UUD NRI 1945 dan secara universal hak pilih termuat dalam Kovenan Hak Sipil dan Politik Pasal 25 yang pada dasarnya menegaskan bahwa asas pemilu yang jujur, adil dan kebebasan pemilih dalam menyatakan pilihan atau keinginannya. Dalam kovenan tersebut juga mengatur kepastian bagi pelaksanaan hak pilih setiap warga negara dalam agenda Pemilu.
Merupakan konsekuensi logis suatu negara demokrasi seperti Indonesia untuk menyelenggarakan Pemilu Demokratis dengan menjamin, melindungi dan memenuhi hak pilih dalam setiap agenda Pemilu, karena pelanggaran terhadap hak pilih akan berkonsekuensi terhadap dilanggarnya hak konstitusional yang didalamnya terkandum prinsip Hak Asasi Manusia. Fenomena kepemiluan saat ini seperti berlakunya norma ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden (Presidential Threshold) dalam Undang-Undang Pemilu merupakan konsepsi yang dapat membatasi hak pilih dalam hal ini hak memilih dan dipilih (right to vote & right to be candidate) yang melekat pada warga negara dan partai politik sebagai pengusung calon Presiden dan Wakil Presiden.
B. Perihal Presidential Threshold
Produk Hukum Elitis
Pengaruh kekuatan politik dalam pembentukan produk Undang-Undang sangat dominan dalam suatu negara untuk melegitimasi kepentingan kelompok tertentu sehingga praktik penyalahgunaan kekuasaan cenderung terjadi melalui pembentukan UU. Pemegang kekuasaan pembentukan produk hukum dapat memasukkan visi, misi dan kepentingan politik sesuai dengan keinginannya. Dalam kaitan ini Moh. Mahfud MD. menegaskan bahwa watak atau karakter suatu undang-undang sangat dipengaruhi oleh konfigurasi politik pada waktu UU ditetapkan. Lebih lanjut Moh. Mahfud MD, mengemukakan bahwa tolak-tarik antara konfigurasi politik terhadap produk hukum dapat dikemukakan sebagai berikut, konfigurasi politik yang demokratis akan melahirkan produk hukum yang responsif/populistik, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter akan melahirkan produk hukum yang konservatif/ortodoks/elitis. Hubungan antara konfigurasi politik dengan produk hukum tersebut dapat ditampilkan dalam tabel sederhana sebagai berikut:[8]
Konfigurasi Politik | Karakter Produk Hukum |
Demokratis | Responsif/Populistik |
Otoriter | Konservatif/Ortodoks/Elitis |
Undang-Undang Pemilu merupakan salah satu produk hukum yang sering direvisi oleh parlemen UU menjelang pemilu, sehingga menimbulkan kesan adanya kepentingan politik jangka pendek terutama dari partai-partai besar yang berkuasa. Salah satu yang menjadi regulasi hasil gonta-ganti produk hukum pemilu yaitu konsep Presidential Threshold, dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dalam pasal Pasal 222 menyatakan “Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya”. Konsep Presidential Threshold terkesan merupakan rancangan kepentingan dari partai penguasa atau golongan kekuasaan elit atau oligarki, sebab Pilres dengan konsep Presidential Threshold akan membatasi partisipasi warga dan partai politik sehingga bertolak belakang dengan prinsip demokrasi yang pluralis atau menjamin pemenuhan right to vote & right to be candidate.
Pengujian konstitusionalitas (Judicial Review) norma Presidential Threshold di Mahkamah Konstitusi sudah dilakukan sejak Tahun 2008, total pengujian konstitusionalitas norma Presidential Threshold sampai Tahun 2021 sudah sebanyak 24 kali tetapi dalam amar putusannya Mahkamah selalu menolak pokok permohon pemohon dan seringkali mempermasalahkan kedudukan hukum (legal standing) pemohon.
Close Legal Policy Bukan Open Legal Policy
Rezim Presidential Threshold oleh pemerintah adalah sebagai aturan yang bersifat open legal policy, jika merujuk pada Putusan MK No.51-52-59/PUU-VI/2008 dan Putusan Nomor 53/PUU-XV/2017 yang menggunakan penafsiran sistematis dalam membaca Pasal 6A UUD 1945 menyatakan pemberlakuan Presidential Threshold merupakan pendelegasian dari ketentuan Pasal 6A ayat (5) UUD 1945. Secara konsepual penafsiran tersebut tidak tepat, karena ketentuan Pasal 6A ayat (5) a quo berkenaan “tata cara”, sedangkan aturan Presidential Threshold merupakan salah satu “syarat pencalonan presiden dan wakil presiden”, bukan tata cara pelaksanaan pemilihan presiden. Bahwa dengan menggunakan penafsiran sistematis-gramatikal, seharusnya “syarat” pencalonan presiden dan wakil presiden merujuk pada Pasal 6 UUD 1945 yang berbunyi: “Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden”, khususnya Pasal 6 ayat (2) yang berbunyi: “Syarat-syarat untuk menjadi presiden dan wakil presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang”.
Bahwa selain itu, menggolongkan Presidential Threshold sebagai open legal policy tidaklah tepat. Ketentuan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 telah memberikan pembatasan terkait syarat pencalonan presiden dan wakil presiden, sebagai berikut (1). diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum; (2). diusulkan sebelum pelaksanaan pemilihan umum. Bahwa seyogianya, persyaratan pencalonan presiden dan wakil presiden digolongkan sebagai close legal policy, sebab UUD 1945 telah menentukan pembatasan atau syarat pencalonan. Berdasarkan preseden putusan Mahkamah, ketentuan disebut sebagai open legal policy apabila memenuhi syarat: (1) norma tersebut tidak dirumuskan secara tegas (expressis verbis) dalam UUD 1945 atau (2) norma tersebut didelegasikan untuk diatur lebih lanjut dalam undang-undang. Ketentuan Presidential Threshold tidak memenuhi kedua syarat tersebut, sebab Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 telah terang mengatur persyaratan pengusulan calon presiden dan wakil presiden.[9]
Bukan Produk Akademis Konstitusi
Menilik Naskah Komprehensif Perubahan UUD 1945 pada Buku V tentang Pemilihan Umum Halaman 541 – 542, tidak terdapat pembahasan tentang presidential threshold. Hanya ditemukan 6 (enam) kali penyebutan frasa threshold dari dua orang anggota Panitia Ad Hoc BP MPR Tahun 2001-2002, yaitu Ir. Pataniari Siahaan dari PDI-P dan Prof. Dr. H. Soedijarto, M.A. dari Fraksi Utusan Golongan, yang merujuk pada electoral threshold, bukan presidential threshold. Pembahasan tersebut tidak menghasilkan suatu kesepakatan atau rumusan tertentu. Oleh karena itu, dikaji dari segi original intent, keberadaan Presidential Threshold tidak dikehendaki oleh perumus konstitusi.[10]
Pilihan Yang Dipaksakan
Rezim Presidential Threshold tidak sesuai dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, dan mengakibatkan warga negara kehilangan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan sebanyak-banyaknya calon pemimpin bangsa (presiden dan wakil presiden) yang dihasilkan partai politik peserta Pemilihan Umum. Bahwa penggunaan ambang batas untuk mengajukan calon presiden dan wakil presiden potensial mengamputasi salah satu fungsi partai politik, yaitu menyediakan dan menyeleksi calon pemimpin masa depan.[11]
Pluralis partisipasi politik dalam agenda pemilihan presiden merupakan implikasi dari keberlakuan sistem multi partai sebagai salah satu prinsip demokrasi Indonesia. Sebaliknya memaksakan perampingan berlebihan dalam pencalonan Presiden memperlihatkan kontrakdiksi dan inkonsistensi pembentuk undang-undang dalam menjalankan prinsip demokrasi, Bahwa sebagaimana Juan Linz dalam resiko dari Presidensialisme dalam Arend Lijphard, 1995, memandang bahwa sistem Presidensial dengan kombinasi sistem multi partai memang berpotensi menimbulkan “Matahari Kembar” atau munculnya dua organ kekuasaan yang keduanya berebut legitimasi dari rakyat; bahwa kondisi demikian dikhawatirkan berpotensi menghasilkan minority government atau divided government yang berujung deadlock serta ketidakstabilan demokrasi, yang kemudian menjadi dalih pembenaran untuk memaksakan pembentukan “koalisi kawin paksa” melalui instrumen Presidential Threshold;
Menodai Prinsip Keadilan Pemilu (electoral justice) dan Kesetaraan Politik (Political Equality)
Konsep Presidential Threshold bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) UUD NRI 1945, yaitu prinsip keadilan pemilu (electoral justice) yang mensyaratkan adanya kesamaan perlakuan di antara peserta pemilihan umum dengan berlakunya konsep Presidential Threshold pembentuk undang-undang secara sepihak menghilangkan hak konstitusional (constitutional right) partai politik baru, yang sesuai Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 memiliki kesempatan yang sama dengan partai politik yang memiliki kursi di parlemen untuk mencalonkan/mengusung pasangan presiden dan wakil presiden.
Secara tidak langsung pembatasan hak asasi manusia dalam Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 tidak didasarkan pada alasan yang rasional konstitusional dan moralitas konstitusi (rules of constitutional morality). Bahkan, sebaliknya penerapan ambang batas telah menyebabkan eksesekses negatif bagi demokrasi Indonesia, seperti candidacy buying, penyingkiran pesaing di tahap awal sebelum pemilihan, dan percukongan politik, yang semua itu menyebabkan demokrasi Indonesia menjadi demokrasi kriminal, yang menjadikan uang sebagai landasan untuk memilih pemimpin;[12]
Menentang Prinsip Presidensialisme-Melahirkan Oligarki Politik
Kebijakan Presidential Threshold ini kemudian menunjukan preferensi politik yang menghindari jalan keseimbangan antara kodrat sistem Presidensial dan sistem multi partai dalam memperoleh legitimasi rakyat. Alih-alih menghidupi semangat konstitusi dalam demokrasi, sistem Presidential Threshold hidup untuk memakmurkan oligarki politik dan pengkawinan paksa koalisi partai politik, dengan dalih memperkuat sistem presidensial yang nyatanya tidak memiliki korelasi langsung maupun tidak langsung dengan penguatan sistem presidensial.
Tatanan sistem presidensial yang kepala pemerintahannya menerima legitimasi langsung dari rakyat, adalah suatu ketidakrasionalan apabila calon-calon yang ditawarkan tidak bervariasi ataupun tidak merepresentasikan masyarakat yang pluralistis. Terlebih, apabila hanya terdapat satu kandidat yang dinyatakan layak sebagai calon presiden dan wakil presiden karena partai politik peserta pemilu lainnya tidak dapat mencapai ambang batas pencalonan meskipun telah berkoalisi dengan partai lain.
Presidential Threshold akan melemahkan sistem presidensial dalam pemerintahan Indonesia, karena dengan adanya ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden maka parlemen memiliki peran besar dalam menentukan lahirnya top executive, hal ini merupakan ciri sistem parlementer dimana pimpinan eksekutif ditentukan oleh parlemen, sedangkan prinsip presidensialisme menghendaki bahwa top executive dilahirkan langsung secara murni dari rakyat (langsung).
Koalisi yang terbentuk dalam memperoleh ambang batas juga sebatas hubungan koalasi yang pragmatis dan rapuh, kemudian condong menghasilkan politik transaksional dibandingkan politic development. Yang kemudian menghasilkan kegagalan dalam proses check and balances antara Presiden dan Parlemen dalam menjalankan negara. Bahwa dengan demikian menjadi terang dan nyata partai politik dalam melaksanakan hak konstitusionalnya mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden seringkali mengabaikan kepentingan rakyat untuk menghadirkan sebanyak-banyak calon pemimpin bangsa dan lebih banyak mengakomodir kepentingan pemodal (oligarki politik).[13]
Zainal Arifin Mochtar menyatakan ketentuan presidential threshold merupakan sebuah upaya untuk menguatkan oligarki partai politik. Presidential threshold ini bahkan cenderung tidak sejalan dengan sistem presidensial. Sebab, dalam sistem tersebut presiden tidak mudah dijatuhkan seperti di negara-negara yang menerapkan sistem parlementer. Penerapan ketentuan Presidential Threshold telah mengamputasi hak partai politik peserta Pemilihan Umum yang telah ditetapkan KPU, partai politik baru atau lama yang tidak lolos ke Senayan.[14]
Menurut Titi Anggraini Ambang batas calon presiden (Presidential Threshold) 20 persen dapat menghambat pencalonan tokoh-tokoh alternatif di luar elite partai politik. Ketentuan ambang batas yang diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Pemilihan Umum, menyebabkan pengaruh partai politik terlalu kuat dalam menentukan tokoh-tokoh yang dapat mencalonkan diri sebagai presiden dan wakil presiden. Ketentuan ambang batas 20 persen itu juga menyebabkan kuatnya polarisasi atau perpecahan di masyarakat. Jika ketentuan ambang batas terus berlaku, maka Pemilihan Umum 2024 akan menyebabkan polarisasi kian menguat antarkelompok masyarakat. Polarisasi disintegratif yang tidak berorientasi pada gagasan dan program. (Polarisasi itu) justru berorientasi pada pendekatan yang memecah belah. Itu kecenderungannya”.[15]
C. Penutup
1. Kesimpulan
Prinsip Constitutional Democracy tercermin dalam Pemilu Demokratis yaitu Pemilu yang menjamin, melindungi dan memenuhi hak pilih dalam setiap agenda Pemilu, karena pelanggaran terhadap hak pilih akan berkonsekuensi terhadap dilanggarnya hak konstitusional yang didalamnya terkandum prinsip Hak Asasi Manusia. Rezim Presidential Threshold merupakan produk hukum elitis yang dihasilkan atas pemufakatan politik non esensial para oligarch yang dapat menodai prinsip keadilan pemilu (electoral justice) dan kesetaraan politik (Political Equality), tidak sejalan dengan prinsip Presidensialisme yang dianut Indonesia, dan melahirkan polarisasi dua kubu ditengah masyarakat karena demokrasi yang tidak pluralis. Oleh karena itu jika rezim Presidential Threshold tetap dipertahankan, maka pada Pilpres 2024 akan terlaksana pesta oligarki bukan pesta demokrasi.
2. Saran
Perlu adanya good political will oleh pemerintah untuk merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dengan menghapus Pasal 222 tentang ambang batas pencalonan Presiden dan Wakil Presiden, dalam rangka untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum Demokratis dalam bingkai negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy).
D. Daftar Pustaka
Buku
Abdulkadir Muhamad, 2004, “Hukum dan Penelitian Hukum”, Bandung: Citra Aditya Bakti.
Jimly Asshiddiqie,2002, “Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat”,Jakarta: Pusat Studi HTN FH UI.
Jimly Asshiddiqie,2004 “Konstitusi dan Konstitusionalisme”, Jakarta: Konstitusi Press.
Khairul Fahmi,2011, “Pemilihan Umum dan Kedaulatan Rakyat”,Jakarta: Rajawali Pers.
Moh Mahfud MD , 1995”Politik Hukum di Indonesia: Pengaruh Konfigurasi Politik Terhadap Produk Hukum,” Jakarta: LP3ES.
Peter Mahmud Marzuki, 2005, “Penelitian Hukum”, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Saldi Isra, Khairul Fahmi, 2019“Pemilihan Umum Demokratis”,Jakarta: Rajawali Pers.
Topo Santoso dan Didik Supriyanto,2004, “Mengawasi Pemilu, Mengawal Demokrasi”, Jakarta: Murai Kencana.
Peraturan Perundang-Udangan/Putusan Pengadilan
Lihat Putusan MK Nomor 70/PUU-XIX/2021
Lihat Putusan Mahkamah Nomor 53/PUU-XV/201
Internet
Di Akses Dari, https://www.gatra.com/detail/news/346977-Pasal-222- Soal-Presidential-Threshold-Dinilai-Picu-Kartel-Politi, Pada Tanggal 10 Maret 2022 Pukul 12.34 WITA.
Di Akses Dari https://www.liputan6.com/news/read/4685725/perludemsebut-ambang-batas-20-persen-hambat-capres-alternatif, Pada Tanggal 10 Maret 2022 Pukul 12.34 WITA.
(Redaksi : Gama)