Ferry Daud Liando
Ada yang membanggakan dari munas ke X Partai Golkar yang berakhir Jumat (6/12) pekan lalu. Partai penguasa orde baru itu mencanangkan sekaligus mengikrarkan diri sebagai parpol yang tidak akan menggunakan mahar pada pencaloan Pilkada 2020.
Tentu menjadi tantangan bagi parpol ini apakah mampu mewujudkannya atau hanya sekedar retorika untuk mensiasati opini publik bahwa Golkar yang sekarang bukanlah Golkar seperti masa lalu atau sekdar ingin memposisikan diri berbeda seperti kebanyakan parpol lain. Tentu butuh waktu untuk membuktikannnya. Publik tentu menunggu apa strategi yang dilakukan agar benar-benar komitemen itu tidak rapuh. Apa ancaman sanksi bagi pengurus baik di DPP maupun di daerah jika melakukan itu. Modus pergerakan mahar sebagiamana pernah dilakonkan oleh para calo-calo politik di sejumlah parpol terjadi disemua tingkatan.
Jika Pilkada kabupaten/kota, maka mahar harus disetor pada pengurus setempat. Setoran ini sebagai imbalan atas “pengusulan” nama ke tingkat provinsi. Kemudian setoran wajib juga di tingkat Provinsi sebagai imbalan “persetujuan”. Perjuangan bakal calon tak cukup sampai Disitu. Pembantaian terkahir terjadi ditingkat pusat. Sebagai imbalan untuk “penetapan” bakal calon. Pemerasan bisa lebih besar jika suatu parpol menggelar seleksi terbuka. Ada “biaya” khusus untuk panitianya jika ingin namanya lolos dalam penjaringan. Jika dalam struktur parpol ada aktor berpengaruh, maka aktor itu berusaha mendapatkan jatah dengan maksud untuk mempengaruhi pengambilan keputusan oleh ketua partai di daerah. Ditingkat pusat, bakal calon akan melewati tiga pintu sebelum mendapat restu ketua umumnya.
Mulai dari ruang badan pemenangan Pilkada, lanjut ke ruang wakil sekjen untuk mendapatkan paraf berkas pencalonan yang kemudian menjadi dasar penandatanganan Sekjen. Bayangkan saja berapa total uang yang harus diperas. Di Pilkada Jawa Timur, Ketua DPD RI La Nyalla pernah mengaku dimintai uang Rp 40 miliar oleh Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Di Pilkada Jawa Barat, Dedi Mulyadi mengaku diminta uang Rp 10 miliar oleh oknum di Partai Golkar. Ini terjadi saat Golkar masih dipimpin Setya Novanto.
Di Pilkada Cirebon, Brigjen (Pol) Siswandi mengaku gagal dicalonkan oleh Partai Keadilan Sejahtera karena diminta mahar (ICW, Kompas.com, 16/1/2018). Banyak ketua parpol harus mewajibkan mahar bagi bakal calon karena pernah juga menjadi korban untuk hal yang sama. Untuk menjadi ketua parpol, uang mahar harus disetor kepada setiap pemilik suara. Jika ketuanya di tingkat kota/kabupaten, uang mengalir pada pengurus kecamatan dan pengurus DPD provinsi. Jika ketuanya di tingkat Provinsi, maka setoran wajib mengalir ke pengurus DPD kabupaten/kota dan pengurus parpol pusat.
Modus yang juga tak kalah genitnya ketika ada skenario bakal calon untuk merekayasa popularitasnya. Rancangan kejahatan politik ini terjadi sebagai pemenuhan persyaratan yang hendak dituntut oleh pihak sponsor. Tak bisa di bantah bahwa pencalonan kepala daerah sebagian besar disokong penuh oleh pemilik modal. Kompensasinya jika calon yang didanai itu menang maka penguasaan sumber daya alam akan dikuasai oleh sang pemodal tadi. Ada janji untuk diberikan kemudahan perijinan untuk bisnis apapun berikut penguasaan atas lahan-lahan bisnis seperti pendirian perumahan, ruko dan pabrik. Di sejumlah daerah ada lapangan sepak bola menjadi bagunan pertokoan, sawah rakyat berubah menjadi hotel mewah. Pantai direklamasi, Ada lahan hijau berubah menjadi kawasan Pariwisata. Sebagian besar lingkungan menjadi rusak karena tambang dan galian C.
Anehnya semua operasi itu legal. Perijinannya mudah. Wajar jika banyak perumahan hanyut oleh badai ketika musim hujan tiba. Ijin IMB dikeluarkan tanpa kajian dan analisis dampak lingkungan. Entah siapa yang memulai. Ada bakal calon yang mengajukan proposal dukungan pembiayaan kampanye, namun ada juga sebaliknya. Pemilik modal-lah yang menginisiatif itu. Daerah yang kaya sumber daya alam menjadi incaran mereka. Tak heran jika ternyata di satu daerah tidak hanya satu calon yang dibiayai. Ada daerah yang kesemuanya di biayai. Sehingga siapapun pemenangnya, sang pengusaha tetap akan menikmati panennya.
Lalu apa syarat awal yang yang harus dipenuhi. Agar pemilik modal tidak bakal rugi maka Masing-masing bakal calon yang hendak didanai wajib memiliki tingkat popularitas. Data popularitas harus bersumber dari hasil survei. Itulah sebabnya menjelang tahapan Pilkada dimulai begitu banyak menjamur lembaga-lembaga survei musiman. Mereka tumbuh atas supporting para bakal calon. Hasil surveipun telah di setting tanpa melakukan survei. Data itulah yang digunakan untuk mengelabui pada calon sponsornya.
Calon yang tidak melalui jalur parpolpun tak kalah siasat. Dukungan awal dalam bentuk KTP masyarakat sebagai syarat pencalonan perseorangan kerap diperoleh secara tidak wajar. Ada yang terang-terangan membagikan sembako lalu kemudian tim suksesnya meminta KTP dan ada yang tanpa malu membujuknya dengan uang. Lantas adakah rakyat yang kelak mau dipimpin oleh produk manipulasi seperti ini.
Kelak yang akan terjadi adalah pertama kelangsungan daerah akan terancam karena eksploitasi alam sehingga yang akan mengorbankan masa depan anak-cucu. Kedua, uang mahar dan uang manipulasi hasil survei yang digunakannya akan memanfaatkan APBD untuk pengembaliannya. Semoga pemilih tidak lagi terkecoh dengan calon seperti ini pada Pilkada 2020 nanti.