D. Harapan Atas Reformasi Hukum Di Indonesia Yang Berbasis Pada Hukum Progresif
Hukum dan undang-undang itu tidak berdiri sendiri. Ia tidak sepenuhnya otonom dan punya otoritas absolut. Apabila pendekatan terhadap kehidupan hukum suatu bangsa hanya dengan meggunakan tolak ukur undang-undang, maka hasil yang diperoleh tidaklah memuaskan. Artinya, sulit untuk dapat memperoleh gambaran tentang keadaan hukum yang sebenarnya hanya dengan membaca peraturan perundangannya saja. Diperlukan potret kenyataan hukum yang hanya dapat dilihat melalui perilaku hukum sehari-hari. Hukum Progresif memecahkan kebuntuan itu. Hukum Progresif menuntut keberanian aparat hukum menafsirkan pasal untuk memperadabkan bangsa.
Salah satu penyebab kemandegan yang terjadi didalam dunia hukum adalah karena masih terjerembab kepada paradigma tunggal positivisme yang sudah tidak fungsional lagi sebagai analisis dan kontrol yang bersejalan dengan tabel hidup karakteristik manusia yang senyatanya pada konteks dinamis dan multi kepentingan baik pada proses hukumnya maupun pada peristiwa hukumnya.
Semakin kemari rasanya semakin mengkonfirmasikan kekakuan produk hukum yang dibentuk oleh pejabat tata usaha negara dalam hal ini pihak BKN yaitu Peraturan BKN No. 2 Tahun 2021 memang nyata terjadi. Sebelumnya juga, ketentuan normatif yang terkesan ‘kaku’ seperti ini dahulunya pernah ada dalam masalah yang di mana Putusan Mahkamah Konstitusi No. 102/PUU-VII/2009 telah memberikan ruang baru dalam konteks memberikan jalan keluar atas kekakuan hukum.
Putusan yang memberikan kelonggaran pada prosedur administratif pelaksanaan Pemilu Presiden yang diadakan pada 8 Juli 2009, yaitu dengan diperbolehkannya penggunaan Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan paspor dalam proses pemilihan, telah sedikit banyak memberikan jaminan terhadap hak warganegara pada pelaksanaan pesta demokrasi tersebut. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 102/PUU-VII/2009, memiliki implikasi dalam bentuknya sebagai dasar argumentasi, yang berkaitan dengan sikap dan kebijaksanaan yang dilakukan oleh KPUD untuk menyelesaikan problematika Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang muncul.
Pejabat tata usaha negara yang punya otoritas dalam proses Tes CAT SKD MA RI T.A 2021 tersebut sebetulnya dapat menggunakan diskresi (freies ermessen). Dengan bersandar pada freies ermessen, pejabat tata usaha negara negara memiliki kewenangan yang luas untuk melakukan berbagai tindakan hukum dalam rangka melayani kepentingan masyarakat atau mewujudkan kesejahteraan umum, dan untuk melakukan tindakan itu diperlukan instrumen hukum. Artinya, bersamaan dengan pemberian kewenangan yang luas untuk bertindak diberikan pula kewenangan untuk membuat instrumen hukumnya.
Sebagai upaya perlindungan terhadap hak kepesertaan a.n Imanuel Mahole untuk dapat mengikuti Tes CAT SKD MA RI T.A 2021 berdasarkan asas-asas umum pemerintahan yang baik yaitu asas kemanfaatan , asas tidak menyalahgunakan kewenangan dan asas pelayanan yang baik.
Demikianlah karakter hukum progresif yang dibangun (dikonstruk) oleh pendirinya yaitu Satjipto Rahardjo yang mengkonsepsikan bahwa “Hukum harus mengabdi kepada kepentingan manusia, bukan sebaliknya manusia yang harus menghambakan diri kepada hukum”. Namun kenyataannya, hukum telah kehilangan rohnya (value-nya) yaitu keadilan, sehingga dalam penegakannya, hukum tampil bagai raksasa yang setiap saat menerkam rasa keadilan masyarakat melalui anarkismenya yang berkedok kepastian hukum dalam bingkai positivisme yang mengkultuskan undang-undang (Baca : Peraturan BKN No. 2 Tahun 2021).
(Gama)