MSN-SULUT. Rencana eksekusi lahan sengketa di Kelurahan Sario Tumpaan tepatnya Eks Corner 52 oleh Pengadilan Negeri (PN) Manado yang dijadwalkan Jumat mendatang memicu kekhawatiran serius di kalangan legislator dan masyarakat.
Anggota DPRD Sulawesi Utara (Sulut), Yongkie Liemen, secara tegas mendesak PN Manado untuk meninjau ulang keputusan tersebut, memperingatkan potensi konflik sosial besar dan gangguan stabilitas keamanan wilayah.
Liemen, legislator Sulut dari Dapil Kota Manado, mengungkapkan kekhawatiran masyarakat sangat beralasan, terutama setelah rapat dengar pendapat (RDP) DPRD Sulut yang menghadirkan Badan Pertanahan Nasional (BPN).“Kekhawatiran masyarakat sangat beralasan,” ujar Liemen.
Ia merujuk pada pernyataan Kepala BPN Manado dalam RDP yang menegaskan bahwa lahan sengketa tersebut, khususnya di wilayah Wanea dan Sario, telah menjadi milik negara dan hak penuh warga yang telah mengantongi Sertifikat Hak Milik (SHM).
“Semua yang memiliki SHM khususnya di wilayah Wanea dan Sario sudah menjadi milik masyarakat, itu yang disampaikan Kepala BPN. Saya tidak tahu hakim memberikan keputusan bagaimana,” imbuhnya.
Liemen bahkan menyebut, jika eksekusi benar-benar dilakukan berdasarkan empat surat ukur, maka 67 persen wilayah Wanea dan Sario, termasuk Kantor Polda Sulut, akan terdampak.
Meski menyatakan menghormati keputusan hukum, Liemen menegaskan kewajibannya sebagai wakil rakyat untuk membela kepentingan masyarakat, Ia mengaku telah melaporkan masalah ini kepada Gubernur Sulut.
Ia juga menyoroti adanya kejanggalan dalam proses eksekusi ini.
Menurutnya, sejak putusan pada tahun 2023, sudah terjadi pergantian beberapa Ketua PN Manado, namun eksekusi tidak pernah dilakukan karena status lahan yang telah diambil alih oleh pemerintah.
“Saya meminta Ketua Pengadilan Negeri, cobalah pakai hati nurani untuk masyarakat Manado, lebih khusus yang tinggal di daerah Sario Wanea,” harap Liemen, menegaskan bahwa ia bertindak bukan untuk mencari panggung, melainkan menjalankan kewajiban.
Sebelumnya, fakta hukum yang terungkap dalam RDP DPRD Sulut bersama BPN dan masyarakat semakin memperkuat posisi warga.
Kepala BPN/ATR Kota Manado menjelaskan bahwa tanah objek sengketa adalah bekas Eigendom Verponding dari tahun 1945, 1946, dan 1947. Secara hukum, status tanah ini telah dihapuskan berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1958.
UU ini secara jelas menyatakan bahwa semua tanah bekas Eigendom Verponding dengan luas di atas 10 Bao dihapuskan pasca kemerdekaan Indonesia.
Selain itu, BPN juga mengungkap bukti bahwa pihak yang mengklaim tanah tersebut, termasuk Lie Boen Yat, telah menerima ganti rugi pada tahun 1973 dengan total lebih dari Rp69 juta (Rp32.500.000 + Rp37.307.500).
BPN memastikan, selama UU No. 1 Tahun 1958 masih berlaku, semua klaim ulang atas tanah bekas Eigendom Verponding yang telah diganti rugi, termasuk oleh ahli waris seperti Lie Tjeng Lok, tidak lagi memiliki kekuatan hukum









































