MINUT–Peluang Kolom Kosong “Blank Column” tampaknya hanya isapan jempol belaka. Hal tersebut dikumandangkan beberapa pengamat politik serta akademisi di Sulut.
Hal tersebut memang benar adanya, mengingat masih ada beberapa Parpol yang sampai saat ini masih menjalin komunikasi politik secara intens, sebut saja, NasDem Lima Kursi, Golkar Empat Kursi, Garindra Dua Kursi, Hanura Satu Kursi. Jadi, jika keempat Parpol ini menyatuh, maka kolom kosong tak akan terjadi di Minut.
Menurut akademisi Universitas Sam Ratulangi Manado Toar Palilingan, gerakan kolom kosong, mungkin saja bagian dari upaya Bakal Pasangan Calon (Bacalon) mempersempit kekuatan atau lawan yang menghadang.
“Sebenarnya istilahnya sesuai perundangan adalah kolom kosong. Jadi itu proses politik. Tapi apa iya ada kolom kosong di Minut? Kan belum. Masih sementara berproses. Sampai saat ini, Golkar dan NasDem belum umumkan. Masih ada Hanura dan Gerindra juga,” kata Palilingan.
Dirinya mengklaim, Pilkada Minut belum mengarah ke kolom kosong karena masih ada dua kekuatan yang justru bisa saja bergabung.
“Karena masih ada kekuatan besar yang ingin mengambil kesempatan untuk berbuat, baik Golkar maupun NasDem. Bukan tidak mungkin jadi power sharing papan Satu atau Dua. Tapi politik itu dinamis. Kita tak tahu. Tapi pasti bisa head to head,” jelasnya.
Namun menurut Palilingan, sebaiknya tunggu saja mana yang diusung. Sebab dalam politik bisa saja berubah-ubah.
“Tapi saya belum lihat arahnya seakan-akan sudah pasti kolom kosong. Sebab masih ada kekuatan besar yang masing-masing berkepentingan untuk ikut ambil bagian dalam proses demokrasi dan mengabdi untuk kepentingan untuk rakyat. Semua partai besar begitu. Bukan tidak mungkin karena kepentingan, bisa menyatu,” sambungnya.
Lanjutnya, di Minut masih berpeluang dua paslon. PDIP melawan kekuatan yang sekarang masih berproses.
“Hanura, Gerindra, Golkar dan Nasdem bisa saja ada komunikasi terbangun. Semua tergantung dari pembicaraan, lobi politik. Segala sesuatu bisa terjadi. Karena politik itu dinamis,” urainya.
Sebelumnya juga, Pengamat Politik Universitas Sam Ratulangi Ferry Liando mengatakan, salah satu ciri demokrasi adalah adanya kompetisi dalam merebut kekuasaan. Jika terjadi calon tunggal maka tak ada kompetisi karena hanya akan melawan kolom kosong. Terdapat sejumlah sebab mengapa bisa terjadi calon tunggal pada Pilkada. Pertama, tidak ada pemberlakuan ambang batas parliement treshold di DPRD. Dengan demikian ada banyak parpol masuk DPRD. Hal itu menyebabkan kursi-kursi di DPRD terbagi pada banyak parpol.
“Kondisi ini kemudian amat jarang parpol memperoleh jumlah kursi 20 persen dari jumlah total kursi di DPRD. Padahal UU Pilkada mensyaratkan parpol harus bisa memiliki kursi 20 persen sebagai syarat mengusung calon. Kemudian adanya ketentuan kewajiban mundur bagi ASN atau anggota DPRD jika menjadi calon. Banyak figur bagus di birokrat dan di DPRD namun tak bersedia jika harus mengundurkan diri. Ketiga, banyak parpol mandul,” tambah Liando.
Doktor jebolan Universitas Padjajaran itu menambahkan, ada parpol yang sesungguhnya memenuhi syarat untuk mengusung namun parpol itu tak bisa menyediakan calon untuk diusung.
“Ada dugaan banyak parpol memperjualbelikan parpolnya kepada calon. Jual beli kursi sebagai syarat dukungan akan sangat rawan terjadi. Apalagi jika jumlah kursi parpol itu tak capai ambang batas. Kursi-kursi itu akan rawan dibeli. Apalagi ada calon yang diusung oleh parpol yang jumlah kursinya tidak cukup. Untuk mencukupinya biasanya membeli kursi dari parpol lain,” tandas Liando.
(Rivo)