BITUNG, MSN – Masyarakat Makawidey yang tergabung dalam Forum Perjuangan Masyarakat Makawidey melakukan audiensi dengan Kepala kantor pertanahan Kota Bitung pada, Senin (20/01/2025).
Pertemuan tersebut guna menyampaikan aspirasi dan permohonan pelaksanaan kebijakan reforma agraria melalui program redistribusi tanah.
Dikatakan Pascal Toloh selaku Narahubung Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Manado melalui siaran pers bahwa, pertemuan ini belum menghasilkan tanggapan konkrit sesuai aspirasi warga, namun paling tidak menunjukan asa dengan penegasan dari Kepala Kantor Pertanahan Kota Bitung Budi Tarigan, S.H.,M.E bahwa objek ex. HGB PT. Awani Modern Indonesia di Kelurahan Makawidey akan dipertimbangkan untuk diusulkan sebagai tanah objek reforma agraria (TORA).
“Objek tanah yang dikuasai oleh PT. Awani Modern Indonesia sesuai Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) nomor 1/Kelurahan Makawidey, tanggal 10 Desember 1996, dengan luas 700.000 M² (Tujuh ratus ribu meter persegi) atau 70 hektar, merupakan objek konflik agraria yang berkepanjangan dan belum diselesaikan secara tuntas oleh negara sejak negara dan warga berkonfik pada tahun 2002 atas upaya menuntut pemukiman dan tempat tinggal yang layak,” ujar Pascal kepada manadosulutnews.
Informasi yang temukan di lapangan menunjukan Objek HGB yang dikuasai oleh PT. Awani Modern Indonesia, layak untuk ditetapkan sebagai Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) serta dilaksankan program Redistribusi, sebagaimana data fisik dan fakta hukum berikut:
1. Sertifikat HGB PT Awani Modern Indonesia telah berakhir pada 24 September 2024. Sejak, PT. Awani Modern Indonesia diberikan hak guna bangunan dengan tujuan untuk membangun kawasan pariwisata, termasuk fasilitas seperti resort, hotel, dan lapangan golf. Namun, berdasarkan fakta yang ada, PT. Awani Modern Indonesia tidak memenuhi kewajiban tersebut. Hingga tahun 2024, PT. Awani Modern Indonesia tidak melakukan pembangunan sesuai dengan tujuan yang ditetapkan dalam keputusan pemberian HGB. Terjadi tindakan penelantaran tanah dan pemanfaatan yang jauh dari tujuan semula. PT. Awani Modern Indonesia telah melakukan pelanggaran terhadap larangan pemegang Hak Guna Bangunan dengan membiarkan tanah yang mereka kuasai tanpa ada pembangunan yang berarti, Justru hanya digunakan untuk memungut hasil kelapa, yang jelas tidak sesuai dengan ketentuan peruntukan dan tujuan penggunaan tanah tersebut. Pelanggaran ini sesuai ketentuan yang diatur dalam PP 18/2021 terkait dengan kewajiban pembangunan dan larangan penelantaran tanah berdasarkan Pasal 42 PP 18/2021, pemegang HGB diwajibkan untuk melaksanakan pembangunan dan/atau mengusahakan tanah sesuai dengan tujuan peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya, paling lambat 2 (dua) tahun setelah hak diberikan, dengan demikian maka sangat tidak layak menurut hukum dan tidak sejalan dengan prinsip reforma agraria jika HGB PT Awani Modern Indonesia dapat diperpanjang.
2. Disisi lain, catatan buruk oleh PT Awani Modern Indonesia dianggap debitur yang bermasalah yang tersangkut kasus BLBI dengan menjadikan objek HGB tersebut sebagai agunan.
3. Berdasarkan norma dan prinsip Hak Asasi Manusia yang termaktub dalam Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (KIHESB) pada Pasal 11 ayat (1) menyebutkan bahwa “Negara-negara Pihak pada Kovenan ini mengakui hak setiap orang atas kehidupan yang layak untuk dirinya sendiri dan keluarganya, termasuk kelayakan pangan, sandang, dan papan, dan perbaikan kondisi hidup yang terus menerus…”. diratifikasi dalam Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights dan jaminan oleh Konstitusi dan undang-undang, negara melalui pemerintah dalam hal ini Badan Pertanahan Nasional wajib menjamin kepastian hukum atas hak atas tanah guna perwujudan hak atas tempat tinggal dan penghidupan yang layak. Ancaman terhadap hak atas tempat tinggal yang layak masyarakat Makawidey, Negara harus menjamin pihak ketiga tidak boleh melanggar hak atas tempat tinggal yang layak.
Negara wajib mencegah terjadinya penggusuran paksa oleh korporasi atau otoritas pemerintah itu sendiri. Dalam hal ini, perpanjangan HGB bagi PT. Awani Modern Indonesia yang telah melanggar larangan dan tidak memenuhi kewajibannya sebagai pemegang Hak Atas Guna Bangunan sangat berpotensi pada pelanggaran hak atas tempat tinggal yang layak.
Negara wajib melakukan pencegahan agar tidak terjadi pelanggaran hak atas tempat tinggal yang layak. Sebab, negara dapat dikatakan melakukan pelanggaran terhadap kewajiban untuk melindungi hak atas tempat tinggal yang layak, jika negara tidak mencegah aktivitas pihak ketiga yang menyebabkan hak masyarakat atas tempat tinggal terlanggar.
4. Bahwa Pemerintah dalam hal ini Kantor Pertanahan Kota Bitung memiliki kewajiban untuk melakukan Pendaftaran tanah bagi masyarakat Makawidey, yang pada faktanya belum memiliki hak atas tanah, diatas lahan yang telah ditempati dan dimanfaatkan sebagai tempat tinggal, ruang mata pencaharian dan penghidupan masyarakat selama bertahun-tahun secara turun-temurun.
5. Bahwa sangat beralasan menurut hukum objek lokasi di Tokambahu,
Makawidey dikategorikan sebagai Tanah Objek Reforma Agraria (TORA) dari Kawasan Non Hutan, berdasarkan Objek sesuai fakta historis, data fisik, data yuridis serta kriteria subjek reforma agraria yang dipenuhi masyarakat Makawidey, memenuhi Objek Redistribusi Tanah dan layak ditetapkan oleh Menteri Agraria dan Tata Ruang untuk ditindaklanjuti dengan pelaksanaan Redistribusi Tanah sebagaimana amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan Peraturan Presiden Nomor 62 Tahun 2023 tentang Percepatan Pelaksanaan Reforma Agraria.
Oleh sebab itu, Masyarakat Makawidey yang bermukim di Tokambahu mendesak:
1. Presiden RI, Gubernur Provinsi Sulawesi Utara, Walikota Bitung memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat di perkebunan Tokambahu, Makawidey serta memulihkan hak-hak atas tanah sebagai warga negara yang berdaulat dalam melaksanakan kewajiban penghormatan, perlindungan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia.
2. Pemerintah Kota Bitung dan Kantor Pertanahan Kota Bitung memperhatikan dan melaksanakan agenda reforma agraria sebagai amanat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan TAP MPR No. IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, yang menegaskan bahwa:
a. pembaruan agraria mencakup suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia;
b. Melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (landreform) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat;
c. Menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform.
3. Kantor Pertanahan Kota Bitung menjadikan seluruh bidang tanah yang sedang dimanfaatkan dan ditempati sebagai tempat tinggal sebagai Tanah Objek Reforma Agraria untuk ditindaklanjuti melalui kebijakan redistribusi tanah sebagaimana amanat UUPA dan Perpres 62 Tahun 2023 demi kepastian hukum dan pembaharuan ketimpangan struktur kepemilikan tanah yang berkeadilan.
4. Kepolisian dan BPN yang berwenang mengusut tuntas secara transparan dan akuntabel dugaan praktik mafia tanah yang terjadi di perkebunan Tokambahu, Kelurahan Makawidey, Kota Bitung.
(Editor : Gama)