MANADO, MSN – Balai Besar Pengawas Obat dan Makanan (BBPOM) di Manado menggelar kegiatan Sosialisasi Pengendalian Antimicrobial Resistance (AMR) bertempat di Grand Ballroom Hotel Aruaduta Manado, Senin (20/06/2022).
Kegiatan ini diawali dengan penyampaiam laporan kegiatan dari Kepala Balai Besar POM di Manado, Dra. Hariani, Apt kemudian dibuka oleh Deputi Bidang Pengawasan Obat, Narkotika, Psikotropika, dan Prekursor dan Zat Adiktif, Dra. Mayagustina Andariani, Apt., MSc. secara daring.

Usai dibuka, kegiatan yang diikuti oleh lintas sektoral yakni dari Apoteker, IAI, IDI, IBI, PAFI dan Dinas Kesehatan di Sulawesi Utara ini dilanjutkan dengan materi mengenai Pengendalian Antimicrobial Resistance.
Adapun pembawa materi, yakni Tim Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA), DR. dr. Harry Parathon, Sp.OG (K) dari Tim KPRA RSUD Dr. Soetomo; Direktur Pengawasan Distribusi dan Pelayanan ONPP, Mimin Jiwo Winanti, S.Si., Apt dan dr. MSc Olivia Waworuntu dari Tim PPRA RSUP Prof dr R D Kandou Manado.
Resistensi antibiotik atau kekebalan terhadap antibiotik, adalah kemampuan bakteri untuk menahan efek dari obat, akibatnya bakteri tidak mati setelah pemberian antibiotik dan fungsi obat tersebut tidak berkerja sama sekali pada tubuh.
Resistensi antibiotik terhadap bakteri dapat menyebabkan akibat yang fatal. Penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang kebal terhadap pengobatan mengakibatkan bertambah lamanya seseorang menderita suatu penyakit, meningkatnya resiko kematian dan semakin lamanya masa rawat inap di Rumah Sakit.
Bahkan, ketika pengobatan menjadi lambat bahkan gagal, pasien dapat menjadi inang bakteri (carrier). Hal inilah yang memungkinkan resistensi antibiotik terjadi pada lebih banyak orang.
Melihat hal itu, Kepala Balai Besar POM di Manado, Dra. Hariani, Apt mengatakan, Melalui kegiatan sosialisasi ini, Apoteker dan Pengelola Apotek diharapkan dapat menjadi penggerak untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pemakaian antibiotik secara benar.
“Kalau kami BPOM melakukan pengawasan terhadap distribusi obat termasuk antibiotik di sarana-sarana, mulai dari Toko Obat, Apotek, Rumah Sakit, Puskesmas serta Klinik. Sekarang kita lagi mau mengintervensi di sarana-sarana tersebut supaya tidak menyerahkan antibiotik ke pasien ataupun konsumen/masyarakat tanpa resep dokter,” terang Hariani.

Selain itu menurut Hariani, Apoteker dan Pengelola Apotek juga harus berkomitmen untuk selalu hadir, berkontribusi dan berperan aktif dalam upaya menjamin pengelolaan obat sesuai regulasi, sehingga program pengendalian AMR dapat terlaksana dengan baik dan dampak serta risiko terhadap kesehatan manusia dapat dikelola dan diminimalisasi.
“Nanti kita akan kerjasama terus dengan Ikatan Apoteker Iindonesia (IAI) untuk melakukan edukasi-edukasi sampai nanti ke pemilik apotek, kalau istilah kita PSA (pemilik sarana apotek). Mereka juga harus mengerti jangan hanya melihat dari sisi bisnis, sekarang yang harus kita lihat adalah kepentingan untuk masyarakat kita,” tegasnya.
Lebih lanjut lagi dikatakan Hariani, untuk melakukan sosialisasi ini hingga ke konsumen/masyarakat tentunya bukanlah hal yang mudah. Tapi ia meyakini, jika ini dilakukan dari sekarang dan secara konsisten oleh setiap lintas sektor yang ada, tentunya ini bisa berjalan sesuai harapan kedepannya.
“Makanya dimulai dari sekarang, dan tidak bisa hanya Badan POM. Karena Badan POM intervensinya hanya ke sarana yang mendistribusikan, tapi ke masyarakat itu tugas kita bersama. Nah, terus yang meresepkan juga tadi bisa pakai resep, tapi kalau tidak rasional juga tidak boleh kan, nanti itu yang akan mengintervensi dari organisasi profesinya seperti IDI, IBI, PAFI semua ada, jadi kita berkolaborasi,” terangnya.
Selain organisasi profesi, Hariani juga menambahkan, untuk edukasi ke masyarakat, tentunya dukungan dari pihak pemerintah juga sangat dibutuhkan.
“Jadi kita edukasi dulu masyarakatnya, konsumennya itu baru nanti kita tegakkan bahwa untuk obat keras itu jangan diserahkan tanpa resep. Nah itu tentu saja kita harus kerjasama dengan Pemda juga, nggak bisa juga kami sendirian, misalnya Dinas Kesehatan, baik dari Provinsi atau juga Kabupaten Kota,” pungkasnya.
(Stev)