(Oleh : Komisariat Justitia GMKI Cabang Manado)
A. Pendahuluan
Pada hari Selasa 06 Juli 2023 sesuai dengan yang diberitakan pada Media Massa Tribun Manado Satpol PP Manado menghentikan aktifitas dari Pengamen Badut yang kemudian dikenakan sidang Tindak Pidana ringan dan mendapat pilihan sanksi berupa sanksi Denda Uang Tunai atau kurungan, kemudian ketika diwawancara Yohanis Waworuntu menyebut kegiatan yang dilakukan Satpol PP Manado ini bukan sebuah penertiban, tetapi hanya pemberitahuan atau imbauan untuk tidak lagi mengamen menggunakan kostum badut di jalanan atau persimpangan.
Peraturan Daerah Kota Manado Nomor 02 Tahun 2019 Pasal 19 Angka 1 huruf a, Pasal 20 angka 1, Pasal 21 huruf a. Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki Tugas menjamin pelaksanaan Hak Asasi Manusia yakni dalam alinea ke-IV Pembukaan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial,”. Kemudian dalam UU No. 39/1999 secara rinci mengatur tentang: hak untuk hidup dan hak untuk tidak dihilangkan paksa dan/atau tidak dihilangkan nyawa, hak berkeluarga dan melanjutkan keturunan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak mengembangkan diri, hak memperoleh keadilan, hak atas kebebasan pribadi, hak atas rasa aman, hak atas kesejahteraan, hak turut serta dalam pemerintahan, hak wanita, hak anak, dan hak atas kebebasan beragama.
Tindakan dari Pemerintah Kota Manado dalam hal ini Satpol PP Kota Manado dalam melakukan penertiban tidak bersesuaian dengan HAM dikarenakan akibat dari hal tersebut Para Pengamen Badut kehilangan Mata Pencahariannya.
B. Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2019 sebagai Sumber Masalah
Penegakan hukum progresif adalah menjalankan hukum tidak sekadar menurut kata-kata hitam-putih perundangan, melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam dari undang-undang atau hukum (Satjipto Rahardjo, 2006: 6). Hukum progresif berbeda dengan hukum positif. Progresifisme hukum mengajarkan bahwa hukum bukan raja, tetapi alat untuk menjabarkan dasar kemanusiaan yang berfungsi memberikan rahmat kepada dunia dan manusia. Asumsi yang mendasari progresifisme hukum adalah pertama hukum ada untuk manusia dan tidak untuk dirinya sendiri, kedua hukum selalu berada pada status law in the making dan tidak bersifat final, ketiga hukum adalah institusi yang bermoral kemanusiaan.
Pasal 19 ayat 1 huruf (a) “Melakukan perbuatan yang dapat mengganggu ketentraman dan ketertiban orang lain;”, Pasal 20 angka 1 “Setiap orang dilarang meminta sumbangan dengan cara apapun yang dilakukan sendiri atau Bersama-sama baik di jalan, dalam angkutan umum, rumah tempat tinggal, kantor atau tempat umum lainnya kecuali atas izin pejabat yang berwenang”, Pasal 21 huruf a “mengamen di jalan, di sekitar lampu lalu lintas, angkutan umum, tempat ibadah, di lingkungan kantor pemerintahan dan swasta, di lingkungan sekolah atau tempat umum lainnya” yakni “ a. Bahwa guna mewujudkan Kota Mando yang tenteram, tertib serta menumbuhkan rasa disiplin dalam berperilaku bagi setiap masyarakat, maka perlu adanya upaya dalam meningkatkan ketentraman dan ketertiban umum; b. Bahwa Peraturan Daerah Kota Manado Nomor 18 Tahun 2002 Tentang Peningkatan Ketentraman dan Ketertiban di Kota Manado, sudah tidak sesuai dengan perkembangan Peraturan perundang-undangan; c. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum.” Hal ini merupakan arah daripada Pemberlakuan Peraturan Daerah Kota Manado Nomo 02 Tahun 2019 Tentang Ketentraman dan Ketertiban Umum.
Hukum perlu mendalilkan bahwa kegiatan “Badut” mengganggu ketentraman dan ketertiban orang lain. Dengan adanya frasa “dapat”, pasal ini menjadi mudah ditafsir secara formil oleh Aparatur Penegak Hukum tanpa perlu membuktikannya lebih jauh. Inilah titik masalah hukumnya.
Padahal, agar dapat mengetahui adanya gangguan yang dirasakan oleh masyarakat sendiri, dapat menggunakan kanal partisipasi masyarakat sebagaimana diatur pada pasal 43 ayat (1) Perda Kota Manado Nomor 02 Tahun 2019 yakni “Setiap orang dapat melaporkan dan/atau memberikan saran dan pertimbangan baik secara lisan maupun tertulis terhadap penyelenggaraan ketentraman dan ketertiban umum”. Persoalannya dengan pendekatan tang tidak komprehensif Aparat Penegak Hukum hanya fokus pada ketentuan tertentu. Dengan membuktikan, peran partisipasi masyarakat tidak menjadi bagian dari penegakan pasal ini. Itu artinya, asas keterbukaan sebagaimana dijelaskan pada pasal 2 huruf e Perda Kota Manado Nomor 02 Tahun 2019 hanya dianggap sebagai “pajangan” oleh Pemerintah Kota Manado melalui Satpol PP.
Pun pasal 20 ayat (1) Perda Kota Manado Nomor 02 Tahun 2019 : larangan untuk meminta sumbangan, kecuali ada izin dari pejabat berwenang. Namun masalahnya peraturan walikota belum diterbitkan dan sialnya, pasal ini digunakan Aparat Penegak Hukum untuk penertiban “Badut Lampu Merah”.
Pasal 21 huruf a Perda Kota Manado Nomor 02 Tahun 2019, frasa “sekitar Lampu Merah” menemukan ambiguitas hukum, akibatnya, sukar untuk menentukan radius “sekitar lampu merah”. Pada akhirnya, pasal ini melanggar asas dalam perda itu sendiri, yakni pasal 2 huruf a “Asas Kepastian Hukum”.
Dapat disimpulkan Peraturan ini masih sangat bermasalah secara implementatif, itu sebabnya, peraturan ini disinyalir menyimpang dari upaya negara menjamin HAM, yakni pada pasal 28I ayat (4) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yakni “Perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah”.
C. Upaya Penertiban Sebagai Bagian Pelanggaran HAM
Lampu Merah Ringroad Manado dan Lampu Merah Lainnya di Kota Mando dilansir dari Tribun Manado. Menurut GMNI Cabang Manado “Badut Lampu Merah Merupakan Kelompok Pekerja rentan yang harus dilindungi. Mereka berada dalam relasi kerja yang tidak layak yaitu penuh resiko, berupah rendah dan tidak pasti sementara itu, mereka harus berhadapan dengan kondisi jalanan yang penuh bahaya. Status mereka sebagai pekerja informal yang rentan dan tidak pasti semakin menyulitkan mereka untuk memenuhi kebutuhan ekonomi.
Pasal 27 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan “Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”, kemudian Pasal 28E ayat (1) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”, Pasal 38 ayat 1 dan 2 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 “(1) Setiap warga negara, sesuai dengan bakat, kecakapan, dan kemampuan, berhak atas pekerjaan yang layak. (2) Setiap orang berhak dengan bebas memilih pekerjaan yang disukainya dan berhak pula atas syarat-syarat ketenagakerjaan yang adil”, Pasal 6 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 “hak untuk menikmati kondisi kerja yang adil dan menyenangkan” Pasal 7 Undang-undang Nomor 11 Tahun 2005 “hak untuk membentuk dan ikut serikat buruh”.
Sebagai perwakilan dari Walikota dalam proses Penertiban, tindakan Satpol PP tidak dapat dibernarkan menurut HAM. Lebih jauh, abainya Negara dalam hal ini Pemerintah Kota Manado dalam pemenuhan dan perlindungan hak pekerja “Badut Lampu Merah” merupakan bagian dari penyimpangan serta pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia.
D. Penutup
Perlu Perubahan atau Revisi terhadap Peraturan Daerah Kota Manado Nomor 2 Tahun 2019 khsususnya pasal-pasal yang tidak implementatif dan tidak bermanfaat bagi pekerja rentan agar memiliki kepastian hukum dan memiliki perspektif perlindungan HAM dan memfasilitasi izin kepada Badut Lampu Merah atau menyedikan lapangan pekerjaan yang baru sebagai bentuk pemenuhan terhadap hak atas pekerjaan yang layak
(Redaksi /Gama)